TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kita gagap, panik, bahkan marah ketika negara tetangga mengklaim salah satu peninggalan budaya kita sebagai milik mereka.
Kita kerap baru bersuara ketika negara lain berhasil terkenal dengan budaya yang mereka ambil kalau tak mau disebut “mencuri” secara diam-diam seni budaya kita.
Tak bisa tidak. Kepanikan semacam itu layak disebut “penyakit” kita, orang Indonesia yang gampang lupa dengan budaya tradisionalnya, lantaran tidak merasa bangga dengan budayanya sendiri.
Kita mungkin lebih bangga memakai merek-merek impor yang pelan tapi pasti mengikis rasa memiliki kita terhadap peninggalan budaya sendiri.
Memang, pemerintah memegang peran utama yang sangat strategis dalam melestarikan budaya bangsa. Namun, tentu upaya itu tak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah.
Upaya pelestarian seni budaya di Tanah Air juga harus melibatkan warganya, yakni anggota masyarakatnya, terutama generasi mudanya yang akan diharapkan akan terus melanjutkan tongkat estafet mewarisi peninggalan-peninggalan seni budaya itu.
Baca: Peringati Sumpah Pemuda, UKP Pancasila dan Nyanyian Indonesia Gelar Pagelaran Seni dan Budaya Tari
Sejauh ini, salah satu kebijakan pemerintah yang perlu mendapat apresiasi dan harus terus didukung adalah mewajibkan adanya penampilan seni budaya daerah di setiap event atau kegiatan akbar bertaraf nasional, misalnya tari-tarian, lagu daerah, dan sebagainya.
Semua itu dilakukan sebagai salah bentuk upaya pengenalan kepada generasi muda, bahwa budaya yang ditampilkan itu adalah warisan para leluhurnya yang asli, bukan tiruan apalagi hasil klaim milik negara tetangga.
Salah satu bentuk nyata upaya tersebut adalah pergelaran ‘Nyanyian Indonesia’, yakni acara pergelaran seni dan tarian-tarian Indonesia di bawah naungan Yayasan Cipta Asa Nusantara dan didukung oleh Cipta Olah Persada (COP) sebagai penggerak dan pelatih nyanyi serta tarian budaya Indonesia yang telah berdiri hampir 30 tahun lamanya.
Namun, COP bukanlah sanggar seni tari atau seni suara, melainkan kumpulan para mahasiswa dan mahasiswi perguruan tinggi di Indonesia yang menyisihkan waktu untuk mempelajari latar belakang seni budaya Indonesia, baik berupa lagu daerah maupun dan tarian adat.
Sebagian besar anggota COP adalah para sarjana S-1 maupun S-2 yang mau mengambil waktu khusus untuk tetap mengabdikan dirinya untuk menyajikan bentuk pementasan tarian dan nyanyian dari berbagai suku dari seluruh Tanah Air.
Baca: Wow, Film Asal Tanah Air Ini akan Merambah Bioskop di Amerika Latin, Eropa, dan Asia
“Jadi, bagaimana kita bisa menghargai dan menghormati keanekaragaman budaya Indonesia dengan 1340 suku dan 564 bahasa yang kita punya sebagai orang Indonesia? Jawabannya adalah kita mau secara langsung ikut memelihara, melestarikan, dan mengembangkan tradisi dan budaya yang ada di masyarakat kita sendiri, apapun bentuknya," kata ujar Yudi Latief, Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Selasa (24/10/2017)