TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi(MK) telah memutus perselisihan Pilkada Kabupaten Jayapura dengan putusan menolak permohonan yang diajukan oleh 3 (tiga) pasangan calon.
Putusan MK tersebut dibacakan pada tanggal 23 Oktober 2017 lalu.
Terlepas dari putusan MK itu bersifat final dan mengikat, menurut kuasa hukum calon nomor urut 1 pilkada kabupaten Jayapura, Budi Setyanto, SH, MH putusan sengketa Pilkada Kabupaten Jayapura masih menyisakan permasalahan yang menimbulkan ketidakpastian hukum, yaitu menyangkut rekomendasi Bawaslu RI yang membatalkan Mathias Awaitauw sebagai calon bupati karena melanggar Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 10 Tahunn 2016.
Rekomendasi Bawaslu tersebut dikeluarkan sebelum persidangan Mahkamah Konstitusi(MK)dan hingga putusan sengketa Kabupaten Jayapura diputus MK, rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh KPU Provinsi Papua.
"Padahal berdasarkan Undang-undang, tindaklanjut pelaksanaan rekomendasi pengawas pemilu adalah bersifat wajib,"ujar Budi Setyanto dalam pernyataannya, Jumat(27/10/2017).
Sementara dalam pertimbangan putusannya, Mahkamah Konstitusi(MK)justru mengatakan bahwa MK tidak berwenang menilai rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu RI sehingga Mahkamah menyampingkan rekomendasi tersebut.
"Pertimbangan Mahkamah ini sangat berbeda dengan pertimbangan pada beberapa sengketa Pilkada yang telah diputus sebelumnya, dimana Mahkamah justru mengenyampingkan ambang batas selisih suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 karena adanya rekomendasi pelanggaran yang dikeluarkan Panwaslu," kata Budi Setyanto.
Hal ini seperti yang terjadi dalam sengketa Pilkada Kabupaten Tolikara, dimana sekalipun selisih suara antara pemohon dan termohon sangat jauh akan tetapi Mahkamah memutus dilakukan pemungutan suara ulang di 18 distrik hanya karena alasan adanya rekomendasi panwaslu yang tidak dijalankan oleh KPU Kabupaten Tolikara.
"Jadi terkesan ada ketidakonsistensi Mahkamah dalam menerapkan ketentuan perundang-undangan. Kalau memang selisih suara itu menjadi syarat mutlak dalam pengajuan sengketa Pilkada, seharusnya seluruh sengketa Pilkada yang melebihi ambang batas selisih suara itu ditolak, tidak boleh ada yang ditolak dan ada yang diterima yang kemudian menghasilkan putusan yang berbeda-beda," ujarnya.
Dalam konteks putusan terhadap sengketa Pilkada Kabupaten Jayapura, Budi menilai masih ada aspek penting yang belum tersentuh hukum yaitu masalah rekomendasi Bawaslu RI tentang diskualifiikasi calon petahana yang mana dalam pertimbangan hukumnya MK mengatakan bukan kewenangannya untuk menilai.
Jika demikian lanjut Budi berarti ada institusi atau peradilan lain yang lebih berwenang untuk memutus hal tersebut, karena memang rekomendasi Bawaslu RI ini tidak coleh dibiarkan menggantung harus ada kepastian hukum.
"Karena ini merupakan produk hukum dari institusi yang memiliki otoritas dalam melakukan pengawasan dan penanganan pelanggaran Pilkada. Jadi Ini sama saja MK tinggalkan bom waktu bagi dan para pihak terutama yang kalah di MK untuk menempuh saluran hukum lain dalam mempersoalkan masalah rekomendasi Bawaslu RI yang belum dilaksakan guna memperoleh kepastian dan keadilan hukum," jelasnya.
Jika kemudian ada keputusan dari peradilan lain yang melegitimasi rekomendasi Bawaslu RI, tentu kata Budi dapat menimbulkan masalah hukum terhadap Pilkada Kabupaten Jayapura.
"Ini yang patut disayangkan dari putusan MK tersebut."ujar Budi.