Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Untuk mencegah terjadi kerusakan lingkungan hidup, konflik agraria dan konflik sosial, dan pelanggaran HAM menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk Lembaga Jasa Keuangan (LJK) seperti bank.
Bank bertanggungjawab atas pembiayaan bisnis yang menimbulkan penghancuran lingkungan hidup, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat adat/masyarakat lokal.
Pernyataan itu disampaikan Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisah Khalid.
"Perbankan harus menerapkan prinsip know your costumer sebelum mendaratkan investasi. Bank harus menerapkan prinsip kehati-hatian dini supaya investasi yang diberikan kepada perusahaan tidak menimbulkan ketidakberlangsungan lingkungan dan risiko gagal bayar," tutur Khalisah, Minggu (12/11/2017).
Keharusan perbankan dalam upaya perlindungan terhadap lingkungan dinyatakan dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Sebagai salah satu pemilik modal, lembaga perbankan memiliki peran vital mencegah kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Pencegahan dilakukan dengan cara melakukan uji tuntas terlebih dulu sebelum memberikan kredit atau modal kepada perusahaan.
"Bank harus turut bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan konflik antara masyarakat dengan perusahaan yang dibiayainya," kata dia.
Menurut dia, sektor perbankan merupakan instutusi yang terhubung dengan rantai pasok bisnis industri ekstraktive, seperti perkebunan kelapa sawit yang harus hormat pada prinsip hak asasi manusia.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Desember 2014 mengeluarkan kebijakan Keuangan Berkelanjutan. Keuangan Berkelanjutan merupakan dukungan dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Sementara itu, Abdul Wahid, dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia mengatakan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan mengharuskan lembaga jasa keuangan melakukan investasi bertanggung jawab, strategi dan praktik bisnis berkelanjutan, serta pengelolaan risiko sosial dan lingkungan.
"Hal itu sebagaimana tercantum dalam Peraturan OJK No. 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan," kata dia.
Sehingga, bank mempunyai peran dan tanggung jawab mengantisipasi potensi kerusakan lingkungan dan dalam kegiatan usaha calon nasabah debitur. Jadi bank sebelum memberikan kredit pembiayaan harus melakukan screening terhadap calon nasabah terutama untuk skala industri besar.
Ini dilakukan untuk melihat apakah perusahaan calon nasabah sudah memenuhi syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam operasinya menurut undang-undang seperti sudah memiliki AMDAL, Kajian KLHS, sudah Memliki Sertifikat HGU, dan lainnya.
Risiko atas terjadinya pengrusakan lingkungan hidup, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat lokal yang dilakukan oleh korporasi yang dibiayainya. Bank harus menyadari terpapar risiko akibat praktek bisnis yang tidak menghormati hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
Diantaranya konflik yang terjadi antara masyarakat di Jambi, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Papua. Di Jambi, Konflik terjadi antara masyarakat di Desa Seponjen, Dusun Pulau Tigo, Desa Sogo dan Kelurahan Tanjung dengan PT Bukit Bintang Sawit (BBS) perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kemudian di Maluku Utara, antara Masyrakat di Teluk Gane, Kabupaten Halmahera Selatan, dengan PT. Gelora Mandiri Membangun (GMM) anak perusahaan dari Korindo.
Di Sultra, antara perusahaan perkebunan sawit PT. Merbau Indah Raya Group dengan masyarakat di Konawe Selatan. Di Papua, tepatnya di Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom dengan PT Tandan Sawita Papua (Rajawali Group). Dan di Sulawesi Utara, antara masyarakat di Tiberias, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow dengan perusahaan sawit, PT. Malisya Sejahtera. Fakta-fakta kasus ini disampaikan oleh WALHI Jambi, WALHI Malut, WALHI Sultra, WALHI Sulut dan WALHI Papua.