TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Survei dari Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum UI menyebut 23 persen dari 227 responden mengaku pernah membayar pungli agar layanan diberikan di pengadilan negeri di Jakarta.
Fakta itu cukup mencengangkan sebab persoalan pungli di peradilan ini pada dasarnya bukan masalah sederhana.
Mahkamah Agung (MA) harus melakukan sejumlah hal untuk menutup celah-celah dan mata rantai yang berpotensi terjadinya pungutan liar (pungli) di pengadilan.
"Kami sepakat, ini bukan persoalan sederhana, memang hari ini publik lebih melihat soal korupsi hakim, soal jual-beli putusan. Mungkin persoalan pungli ini dianggap sepele, tapi ini sebetulnya bukan hal sepele," kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PERADI, Rivai Kusumanegara dalam pernyataannya, Selasa(21/11/2017).
Rivai mengatakan perbaikan di MA bukan hanya di bidang administrasi dan kecepatan pelayanan, tapi beberapa persolan yang memberatkan bagi para pencari keadilan.
Salah satu persoalannya, ungkap Rivai, adalah pendaftaran surat kuasa.
Memang yang membayarkan adalah kuasa hukum, namun biaya tersebut nantinya akan dibebankan kepada klien atau masyarakat yang berperkara di pengadilan.
"Jadi ini tidak akan ditanggung sendiri oleh penasihat hukum, kasihan masyarakat. Dia akan mengalami biaya-biaya cukup tinggi. Ini melunturkan upaya menyelesaikan sengketa melalai peradilan jika biayanya cukup besar," ujar Rivai.
Apalagi bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki uang.
Meski ada program probono, namun ini sangat memberatkan.
"Bagaimana dia mau ke pengadilan jika ternyata biayanya besar," ujarnya.
PERADI lanjut Rivai mempunyai beberapa catatan.
Pertama, MA harus memangkas birokrasi berbelit dan kurang efektif, serta memicu terjadinya pungli.
Contohnya, soal pendaftaran surat kuasa akibat aturan yang tidak sesuai zaman.
"Peraturan ini berangkat dari zaman dulu, di mana advokat masih di bawah Kemenkum HAM. Dulu ada dua profesi di bawah Kemenkum HAM, yakni advokat dan notaris. Semua bentuk pekerjaannya wajib diregistrasi," ujarnya.
Padahal, saat ini advokat sudah tidak lagi berada di bawah Kemenkum HAM, tetapi di bawah organisasi advokat, sehingga advokat tidak perlu lagi mendaftarkan surat kuasa ke peradilan.
"Tapi sampai hari ini ada dan timbulkan pungli," katanya.
Contoh lainnya, harus ada surat keterangan inkracht jika suatu perkara akan dieksekusi.
Untuk mengurusnya, tentu harus menempuh birokrasi yang panjang dan mengeluarkan uang.
"Bagi kami, ini tidak perlu karena akan ketahuan satu perkara sudah inkracht atau belum," ujarnya.
Terlebih, lanjut Rivai, ada ruang tersendiri untuk membuktikan suatu perkara sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) atau belum.
"Karena pada saat eksekusi, pasti termohon eksekusi akan keberatan jika perkaranya belum inkracht. Ada proses tersendiri, tidak perlu dengan surat jawaban keterangan inkracht," ujarnya.
Tidak hanya itu persoalannya, PERADI juga menyoroti masalah biaya perkara yang menjadi salah satu sorotan.
Pasalnya, jika masyarakat mendaftarkan suatu perkara ke pengadilan, salah satu komponen biaya terbesar adalah biaya relas.
Sesuai ketentuan, relas harus disampaikan oleh juru sita. Dia wajib datang ke alamat pemohon dan termohon.
"Metodenya datang ke tempat tertuju, entah pakai motor atau mobil. Itu ada beban biaya. Jika dilihat, itu beban biaya terbesar, berapa kali panggilan dan tergantung para pihak. Saya pernah survei, semakin ke daerah semakin mahal," ujar Rivai.
Jika berada di Jakarta, untuk mendaftarkan gugatan ke pengadilan biayanya rata-rata sekitar Rp 5 juta.
Bahkan di sejumlah daerah seperti di Pangkalan Bun, jumlahnya lebih tinggi, bisa mencapai belasan juta.
"Bayangkan bagaimana yang di Papua," katanya.
Menurut Rivai, juru sita harus datang ke alamat para pihak untuk mengantarkan relas karena ketentuan HIR.
Ini menimbulkan biaya tinggi dan rentan disalahgunakan.
"Sistem ini tidak cepat, tidak sederhana. Bahkan, cenderung ada permainan oknum advokat untuk mempercepat atau lambat perkara," katanya.
PERADI sendiri mendorong agar ketentuan HIR itu diubah.
"Mudah-mudahan ini masuk Prolegnas 2018. Ini hukum acaranya sudah sangat lama, harus diperbaiki. Pengadilan TUN dan Pengadilan Agama sudah membuktikan berhasil menggunakan jasa pos," katanya.