TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Staf Khusus Presiden Diaz Hendropriyono mengingatkan di tengah situasi global yang sedang tak menentu yang paling penting saat ini adalah menciptakan harmoni di negeri sendiri.
Salah satunya yakni dengan meningkatkan nasionalisme.
Sayangnya, nasionalisme masyarakat Indonesia mulai menurun.
Ini ditunjukkan dengan adanya berbagai peristiwa intoleransi.
Sejumlah kejadian intoleransi mencoreng kehidupan bernegara seperti pembakaran gereja di Aceh Singkil, pembakaran Vihara di Tanjung Balai serta pembakaran musala di Tolikara.
Baca: Tak Lagi Jabat Panglima TNI, Jenderal Gatot : Merdeka
"Saat ini nasionalisme sedang tergerus, ditunjukkan oleh berbagai survei. Menurut survei ada 4 persen penduduk Indonesia yang mendukung ISIS. Meski terlihat kecil tetapi jika dibandingkan dengan 250 juta penduduk Indonesia merupakan angka yang besar," ujar Diaz dalam pernyataan persnya saat seminar Nasional Agama dan Kebudayaan : Strategi Kebudayaan: Dialog Agama dan Kebudayaan untuk Indonesia Berkemajuan oleh Komunitas Muda Nusantara di UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (9/12/2017).
Diingatkannya, perkembangan liberalisme juga meningkatkan individualisme yang tidak sesuai dengan nilai Pancasila, yaitu gotong royong.
Selain itu, revolusi teknologi juga meningkatkan individualisme.
Baca: Pemprov DKI Tak Ingin Pakai Dana APBD Renovasi Kolam Renang
Diaz mengimbau, agama seharusnya dijadikan sebagai alat pemersatu, bukan sebagai alat politik.
"Tugas ulama, pemuka agama untuk menyatakan ini. Agama yang beragam di Indonesia, harus menjadi berkah," kata Diaz.
Sementara itu, Aktivis Milenial Danik Eka Rahmaningtyas meningkatkan, kesadaran terhadap keragaman mesti ditingkatkan.
Sejauh ini, dia menilai, banyak salah informasi di media sosial tentang isu-isu sensitif semacam ini.
"Keragaman ada dimana-mana. Kesadaran terhadap keragaman di Indonesia harus diselesaikan dulu, baru ke global. Konflik terjadi di mana-mana karena kesadaran akan keberagaman belum terbentuk. Banyak misinformasi yang menjadi propaganda yang menumbuhkan kebencian di masyarakat. Hoax atau pemelintiran isu dapat menjadi pemicu konflik, masyarakat harus memiliki keinginan untuk menelusuri penghasut dan berita-berita tidak benar,"kata Diaz.
Sedangkan Safee Peters, Presiden Asosiasi Mahasiswa Internasional UIN Jakarta menyatakan, konflik muncul karena masyarakat menolak memahami budaya lain dalam sebuah sistem masyarakat yang beragam.
Konflik juga muncul karena masyarakat terkadang menganggap budayanya lebih baik dibanding budaya lainnya, atau stereotype.
"Nah, mestinya agama dapat menjadi jawaban bagi permasalahan ini, dapat membantu masyarakat menerima keberagaman dan membuka diri terhadap kebudayaan lain," pungkasnya.