TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Hukum yang tidak mengandung keadilan bukanlah hukum."
Terjemahan dari kata-kata mutiara dari seorang filsuf dunia bernama Santo Agustinus itulah salah satu hal yang membuat pengacara Setya Novanto, Maqdir Ismail masih tetap bertahan membela hak-hak kliennya.
Dengan tenang dan tersenyum, Maqdir mengatakannya sambil menunjuk ke arah sebuah tulisan berbahasa Inggris berukuran besar yang dibingkai dan dipajang di salah satu ruang di kantornya di Jalan Latuharhary nomor 6, Menteng, Jakarta Pusat.
"Lihat, ini kutipan yang selalu ada di kepala kami. Bahwa hukum yang tidak mengandung keadilan itu bukan hukum. Ini salah satunya yang selalu kita (bersama rekan-rekannya di kantor) bicarakan ya," kata Maqdir dengan perlahan.
Maksud dari pengacara Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan itu adalah proses penegakan hukum seharusnya dilakukan dengan cara yang baik dan bijaksana. Baginya, penegakan hukum adalah upaya pencarian keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
"Ketika hukum itu tidak mengandung keadilan, untuk apa hukum itu?" tanya Maqdir.
Menurut pria kelahiran 18 Agustus 1954 itu, Novanto dan dirinya menyayangkan keputusan KPK untuk melimpahkan berkas tuntutan atas tindak pidana korupsi proyek KTP Elektronik Novanto sebelum hasil praperadilan Novanto diputus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baca: Harry Kane Siap Pecahkan Rekor Alan Shearer Berusia 22 Tahun
Ia juga mengungkapkan bahwa pembelaan atas hak-hak kliennya bukanlah soal menang-menangan, melainkan untuk penegakan hukum dengan baik dan bijak. Menurutnya salah satu fungsi dari proses praperadilan itu adalah untuk mencegah proses hukum yang tidak diinginkannya.
"Ini kan sikap bukan hanya untuk menghormati hak asasinya terdakwa tetapi juga itu adalah cara kita menegakan hukum dengan baik dan bijak, bukan mau menang-menangan," kata Maqdir tenang.
Bagi Maqdir, sikap yang ditunjukan aparat penegak hukum termasuk KPK yang seperti itu tidak hanya merugikan kliennya saja, tetapi juga masyarakat kedepannya.
Menurut mantan aktivis pro demokrasi penandatangan Petisi 50 pada rezim Soeharto itu, apa yang dilakukan KPK bisa menjadi contoh bagi aparat penegak hukum lain. Ia yakin bahwa proses yang harus dilalui dalam penegakan hukum adalah untuk melindungi hak asasi manusia.
"Hak asasi itu bukan diberikan oleh pemerintah lo, jangan lupa itu. Hak asasi itu diberikan oleh Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat," tegas mantan pengacara Komjen Pol Budi Gunawan itu.
Dirinya meyakini bahwa keadilan adalah jalan mendekat kepada Tuhan dan bukan kesewenang-wenangan. Menurutnya, penegakan hukum juga harus dilakukan dengan cara yang tidak sewenang-wenanh. Maqdir yakin kalau penegakan hukum dilakukan secara sewenang-wenang maka hal itu adalah bentuk penzoliman.
"Orang itu harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Tidak bisa orang itu dihukum dengan hukuman yang tinggi karena jabatan yang tinggi, kan nggak bisa seperti itu. Artinya kalo itu yang kita lakukan, kita telah melakukan penzoliman atas nama penegakan hukum," tegas Maqdir.
Diketahui dari berbagai sumber, sebelumnya alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta mulai aktif membela hak-hak dari lawan-lawan hukum KPK dalam sebuah nota pembelaan (pledoi) kliennya Mohamad Iqbal yang merupakan terdakwa kasus suap Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada tahun 2009.
Nota pembelaan tersebut berisi 167 halaman yang ia tulis bersama klien dan rekan-rekannya tersebut kemudian dibukukan dan diterbitkan pada tahun yang sama dibawah penerbit IQBALINDO.
Sementara dua pengacara Novanto, Fredrich Yunadi dan Otto Hasibuan memilih menyatakan mengundurkan diri dari kliennya pada Jumat (8/12/2017) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Meski tidak lagi berkomunikasi dengan keduanya sejak pengunduran diri mereka, Maqdir mengaku masih menjalin komunikasi dengan pengacara praperadilan Novanto, Ketut Mulya Arsana dan timnya terkait informasi-informasi yang ia dan timnya butuhkan.
Ia sendiri mengaku tidak pernah berbarengan ketika menjenguk kliennya di Rumah Tahanan (Rutan) KPK di Gedung Merah Putih, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
Maqdir juga mengungkapkan bahwa sejauh pertemuannya dengan Novanto, dirinya membatasi diri untuk membicarakan hal-hal di luar proses hukum seperti politik.
"Saya memang mencoba untuk tidak ikut urusan itu (politik). Karena urusan politik itu kan ada teman-teman di Golkar yang mengurusnya. Kedudukan beliau di Golkar sebagai ketua DPP atau kedudukan beliau sebagai Ketua DPR, saya nggak mikirin soal itu. Nggak sampai ilmu saya," ungkap Maqdir tertawa.