TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Potret ketimpangan sosial ekonomi antara kota dan desa masih cukup tinggi, dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi di daerah.
Selain itu juga berimbas pada lemahnya peningkatan perekonomian nasional.
Demikian disampaikan Menteri Desa pertama kabinet kerja, Marwan Jafar, dalam Seminar Nasional di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (20/12/2017).
Baca: Reaksi Cak Imin Soal Marak Spnduk Dukungan Jadi Cawapres
Lebih jauh, Marwan menjelaskan bahwa, desa dan kota mengalami pertumbuhan timpang yang cukup tinggi, dengan kontribusi kota besar dan metropolitan terhadap pertumbuhan mencapai 32%.
Sementara kontribusi kota menengah dan kecil hanya berkisar 7% terhadap pertumbuhan.
“Menurut Bank Dunia, ada empat hal yang membuat ketimpangan sosial ekonomi, yaitu ketidaksetaraan kesempatan akses pendidikan, shock dalam perekonomian dan kurangnya daya beli, kesenjangan upah, dan keuntungan dari penguasaan aset-aset finansial yang hanya dinikmati segelintir orang,” ujar Marwan.
Indonesia saat ini menempati urutan ke-4 negara paling timpang di dunia. 1% orang terkaya menguasai 49,3% kekayaan nasional. 10% orang terkaya menguasai 77% dari total kekayaan nasional.
Kendati jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan menurun dari 40% menjadi 8% sejak tahun 2000, manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut tidak merata.
Baca: 16 Kader Jadi Tersangka Kasus Korupsi Selama Novanto Jabat Ketum Golkar
“Menurut data Global Wealth Report dan Bang Dunia, Indonesia menempati urutan ke-4 negara paling timpang di dunia lo ya," kata Calon Gubernur Jawa Tengah dari PKB ini.
Mantan Ketua Fraksi PKB DPR RI ini juga menyoroti soal ketimpangan yang terjadi di Jawa Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistuuk (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah sebanyak 4.493.750 jiwa, di bawah Jawa Timur sebanyak 4.638.530 jiwa.
Tetapi, urai Marwan, masih di atas Jawa Barat sebanyak 4.168.110 jiwa. Jadi separuh dari jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 27.764.320 jiwa itu ada di Pulau Jawa.
“Tingkat pendidikan di Jawa tegah masih rendah dan wajib untuk segera di selesaikan karena angka rata-rata masyarakat Jawa Tengah dalam mengenyam pendidikan baru hampir delapan tahun. Artinya rata-rata penduduk Jawa Tengah pendidikannya Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bagaimana di luar Jawa Tengah atau Pulau Jawa? Ini yang harus menjadi PR bersama,” ajaknya.
Karena pendidikan rendah itulah, kata dia, berimplikasi pada rendahnya tenaga kerja terdidik di Jawa Tengah.
“60% tenaga kerja di Jateng hingga saat ini masih lulusan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtida`iyah (SD/MI). Sehingga pemerataan orang-orang terdidik masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah orang-orang yang belum cukup terdidik,” ujarnya.
Masih kata Marwan, calon sarjana menjadi harapan kemajuan pembangunan Indonesia ke depan.
"Jadilah mahasiswa yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan bukan malah menjadi mahasiswa yang menambah angka pengangguran,” pungkasnya.