Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memasuki tahun politik 2018 dan 2019, dinamika politik perlu dijauhkan dari isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
Ketua Bidang Hubungan Legislatif dan Eksekutif DPP Golkar, Yahya Zaini, mengatakan politik identitas rawan menyulut konflik sosial dan dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Baca: Seorang ABG di Bogor Jadi Korban Pemerkosaan 4 Pemuda Hingga Alami Pendarahan
"Maraknya politik identitas dalam kontestasi politik akan sangat berbahaya, apalagi ditambah dengan ujaran-ujaran kebencian yang masif di medsos," ujar Yahya, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (27/12/2017).
Yahya khawatir politik identitas masih akan mewarnai pertarungan politik di Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
Menurutnya, ada kelompok dan kekuatan yang terus berusaha menduplikasi kesuksesan Pilkada Jakarta untuk daerah-daerah lain, bahkan pada Pilpres mendatang.
Baca: Alasan Jokowi Sekarang Tidak Hanya Beri Hadiah Sepeda Tetapi Juga Modal Usaha
Ia menyampaikan bahwa kontestasi politik dengan menggunakan isu SARA dapat merusak harmoni ditengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
Keragaman, kata Yahya, adalah rahmat yang mesti jadi kekuatan untuk kebangkitan bangsa, bukan sebagai penghalang, apalagi perusak.
Baca: Jusuf Kalla: Dedi Mulyadi Tinggal Mencari Calon Wakilnya
"Meski situasi politik semakin menghangat dan dinamis, kebhinekaan harus dijaga erat. Persaingan politik tak boleh merusak persaudaraan sesama anak bangsa," katanya.
Baca: Jusuf Kalla: Difteri Masuk Kategori Kejadian luar Biasa dan Tidak Memilih Umur
Kunci awal mencegah menguatnya politik identitas, kata Yahya, adalah dengan meningkatkan kesadaran di tingkat elite.
Jika elite sama-sama sepakat bersaing secara sportif dan menjunjung etika, maka politik identitas akan dapat direduksi.
"Selanjutnya, persaingan politik diisi dengan prestasi, program, dan keberpihakan yang nyata pada rakyat. Komitmen untuk bersaing secara santun harus menjadi konsensus," katanya.