TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi disebut menerima Rp 12 miliar dari proyek pengadaan di Badan Keamaman Laut ( Bakamla).
Dari jumlah itu, Fayakhun diketahui pernah meminta agar uang sebesar 300.000 dollar Amerika Serikat dibayarkan lebih dulu oleh perusahaan rekanan di Bakamla.
Uang sebesar itu diminta diberikan secara tunai, guna keperluan penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar.
Hal itu terungkap dalam persidangan untuk terdakwa Nofel Hasan selaku Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam persidangan, jaksa menunjukkan barang bukti berupa percakapan WhatsApp antara Fayakhun dengan Erwin Arif, pengusaha dari perusahaan Rohde & Schwarz.
Erwin menjadi vendor yang digunakan PT Melati Technofo Indonesia, selaku pemenang lelang proyek pengadaan satelit monitoring di Bakamla.
Dalam percakapan WhatsApp, terungkap bahwa Fayakhun meminta Erwin untuk memberitahu pihak PT Melati Technofo, agar lebih dulu membayarkan 300.000 dollar AS secara tunai.
Berikut kalimat yang disampaikan Fayakhun kepada Erwin:
"Bro, kalau dikirim Senin, maka masuk di tempat saya Kamis atau Jumat depan. Padahal, Jumat depan sudah munas Golkar."
"Apa bisa dipecah: yang cash di sini 300rb, sisanya di JP Morgan? 300rb nya diperlukan segera untuk petinggi2 nya dulu. Umatnya nyusul minggu depan."
Jaksa KPK kemudian mengonfirmasi isi percakapan itu kepada Erwin.
Baca: Plt Sekda Jambi Yakin Zumi Zola Seminggu Lagi Menyusul Jadi Tersangka
"Kalau menurut Fayakhun, transfer hari Senin masuk ke akunnya hari Jumat. Sedangkan, mereka membutuhkan hari Jumat, jadi permintaan Fayakhun sebelum hari Senin sudah dilakukan," kata Erwin.
Selanjutnya, jaksa KPK membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Erwin saat di penyidikan.
Dalam BAP, Erwin menerangkan bahwa terkait Munas Partai Golkar, Fayakhun membutuhkan dana untuk diberikan kepada petinggi partainya.
Sedangkan, sisanya untuk pejabat partai kelas bawah, yang penyerahannya bisa ditransfer ke rekening JP Morgan.
Selanjutnya, Erwin menyampaikan permintaan Fayakhun itu kepada Muhammad Adami Okta, pegawai PT Melati Technofo.
Hingga saat ini Fayakhun menolak memberikan komentar terkait namanya yang disebut dalam persidangan.
Fayakhun menyerahkan sepenuhnya kasus tersebut pada proses hukum yang berlangsung.
"Nanti biar itu melalui proses hukum saja. Aku no comment," kata Fayakhun.
Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily membantah adanya aliran dana korupsi Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang digunakan untuk kegiatan partai termasuk Musyawarah Nasional (Munas).
Hal itu disampaikan Ace menanggapi disebutnya nama politisi Golkar Fayakhun Andriadi yang meminta uang sebesar 300.000 dolar AS untuk Munas.
"Saya pastikan ya. Dalam acara atau kegiatan partai, tidak ada sumbangan yang diberikan kepada kegiatan partai atau kontribusi kepada partai yang berasal dari hal yang dilarang oleh ketentuan undang-undang," kata Ace.
Baca: Polisi Periksa Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa Terkait Teror Terhadap Novel Baswedan
Ia menegaskan Golkar selalu menggunakan dana yang halal dan tidak dilarang undang-undang dalam setiap kegiatannya.
Apalagi, kata Ace, hal itu akan merusak nama baik partai sehingga tak mungkin dilakukan oleh Golkar.
Ia menambahkan sumber dana untuk kegiatan partai biasa diperoleh Golkar dari kas partai dan juga sumbangan dari anggota Fraksi.
Tentunya, lanjut Ace, sumbangan dari anggota Fraksi bukan berasal dari korupsi.
"Kami sangat tahu dana apa yang harus dipergunakan untuk kegiatan partai secara keseluruhan," tutur Ace.
"Karena itu saya pastikan tidak ada itu sumber dana keuangan partai untuk kegiatan seperti Munas, dari dana yang berasal dari yang bertentangan dengan undang-undang. Misalnya dari uang suap. Saya pastikan tidak ada," lanjut Ace.
Eva Sundari Juga Disebut
Politisi PDI Perjuangan Eva Sundari disebut turut menikmati uang terkait proyek pengadaan satelit monitoring dan drone di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Uang itu disebut-sebut sebagai pemulus dalam penganggaran proyek.
Ini diketahui saat Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia Esa, Fahmi Darmawansyah bersaksi untuk terdakwa Nofel Hasan, selaku Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla, di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Fakta ini terungkap saat jaksa KPK membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Fahmi Darmawansyah.
Dalam Berita Acara Perkara (BAP), Fahmi mengaku pernah memberikan uang Rp 24 miliar kepada staf khusus Kepala Bakamla, Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi.
"Uang tersebut merupakan fee sebesar 6 persen, atas anggaran pengadaan satelit monitoring sebesar Rp 400 miliar," kata jaksa saat membacakan BAP.
Dalam BAP, disebutkan pula uang Rp 24 miliar itu digunakan untuk mengurus proyek di Bakamla.
Kemudian, untuk Balitbang PDI Perjuangan Eva Sundari, Komisi XI DPR Bertus Merlas dan Donny Imam Priambodo, Komisi I Fayakhun, Wisnu dari Bappenas, dan pihak di Direktorat Jenderal Anggaran.
"Iya, itu saya tahu dari Ali Habsyi," kata Fahmi Darmawansyah.
Masih menurut Fahmi, uang itu diserahkannya ke Ali Habsyi di Hotel Ritz Carlton.
Diketahui Fahmi dalam kasus ini telah divonis bersalah karena terbukti menyuap pejabat Bakamla terkait proyek pengadaan satelit monitoring.
"Saya tahu kedekatan Habsyi dengan Kabakamla. Makanya saya penuhi," katanya.
Anggota Komisi XI DPR RI Eva Kusuma Sundari membantah terlibat dalam proyek pengadaan satelit monitoring dan drone di Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang kasusnya kini sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Eva mengaku tidak pernah mengetahui rencana ataupun diajak rapat membicarakan proyek tersebut.
Ia juga mengaku tidak memiliki posisi strategis di DPR RI sehingga dapat membahas atau memuluskan proyek tersebut.
"Tahu-tahu kasus itu meledak di koran. Jadi baru tahu nama barangnya, plus untuk apa juga enggak mengerti termasuk nilai proyeknya," kata Eva.
Eva juga mengatakan tidak pernah membahas mengenai masalah proyek tersebut dengan Fayakhun.
Jangankan membahas, dirinya belum pernah bertemu atau bersalaman dengan Fayakhun.
"Silakan tanya Pak Fayakhun, kenal saya nggak? Ngomong-ngomong atau salaman dengan saya? Membahas hal tersebut dimana dan kapan? Lagi pula saya tidak di Litbang, tugas saya di kaderisasi," katanya.
Eva menduga namanya dicatut dalam kasus tersebut. Untuk membuktikannya menurut Eva biarkan penyidik KPK mengikuti aliran uang proyek tersebut.
"Biar penyidik ngikuti aliran duit saja. Apa ada yang ke saya? Melalui siapa dan berapa? Karena saya tidak terima duit dari siapapun untuk proyek yang saya baru tahu di koran," katanya.
Eva berharap kasus dugaan pengadaan satelit monitoring dan drone di Badan Keamanan Laut (Bakamla) segera tuntas. Ia siap bila diminta untuk memberikan keterangan.
"Siap ikuti proses yang lagi jalan, karena semua ditangani KPK maka KPK yang paling tepat untuk memberi jawaban kualitas kesaksian tersebut. Saya akan berikan keterangan seperti di atas, dan silahkan verifikasi dengan data yang ada yang tentu alat-alat negara bisa mendapatkan data harta dan rek saya karena semua jelas sesuai hukum," katanya.
Nama Setnov Juga Muncul
Nama mantan Ketua DPR, Setya Novanto juga muncul di persidangan kasus korupsi Bakamla. Awalnya, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bukti berupa foto percakapan WhatsApp antara anggota Komisi I DPR, Fayakhun Andriadi dan pengusaha dari perusahaan Rohde & Schwarz, Erwin Arif.
Dalam percakapan itu, Fayakhun memberi tahu kepada Erwin bahwa ia sedang mengupayakan anggaran pengadaan satelit monitoring (satmon) dan drone di Bakamla.
Masing-masing senilai Rp 500 miliar untuk drone dan Rp 400 miliar untuk satelit monitoring.
Selanjutnya, Fayakhun mengatakan, 'Bro, tadi saya sdh ketemu Onta, SN dan Kahar. Semula dari Kaba yg sdh oke drone, satmon belum. Tapi saya sudah "paksa" bahwa harus drone + satmon, total 850'.
Dalam persidangan, terungkap bahwa Kaba adalah Kepala Bakamla RI, Laksamana Madya Arie Soedewo.
Erwin Arif menerangkan bahwa Onta yang dimaksud Fayakhun adalah Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi, staf khusus kepala Bakamla.
"Kalau SN, dugaan saya, SN itu Setya Novanto, karena menyangkut Golkar," kata Erwin.
Dalam kasus ini, Fayakhun yang merupakan anggota Fraksi Partai Golkar disebut menerima Rp 12 miliar dari proyek pengadaan di Bakamla.
Uang itu diberikan oleh Fahmi Darmawansyah, pengusaha yang menjadi peserta lelang pengadaan di Bakamla.
Menurut Fahmi, Fayakhun pernah mengklaim bahwa ia berjasa dalam meloloskan anggaran pengadaan satelit monitoring senilai Rp 500 miliar.
Kemudian, anggaran pengadaan drone senilai Rp 400 miliar.
Fahmi mengatakan, Fayakhun meminta agar ia memberikan fee senilai 1 persen dari anggaran total Bakamla dalam APBN sebesar Rp 1,2 triliun. Adapun, fee tersebut senilai Rp 12 miliar. (Tribun Network/theresia felisiani/taufik ismail/wly)