TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), di Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Pihak yang menggugat adalah Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri dan AM Putut Prabantoro, yang bertindak sebagai Warga Negara Indonesia serta pemerhati ekonomi kerakyatan khususnya dalam memperjuangkan tercapainya kemakmuran.
Keduanya didampingi Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (TAKEN) yang terdiri dari DR. Iur. Liona N. Supriatna, S.H (Kordinator)., M.Hum, Hermawi Taslim, S.H., Daniel T. Masiku, S.H., Sandra Nangoy, S.H., M.H., A. Benny Sabdo Nugroho, S.H., M.H, G. Retas Daeng, S.H, AMC Alvin Widanto Pratomo, S.H. dan Bonifasius Falakhi, S.H.
Menurut Kiki Syahnakri, yang sejak Januari 2017 secara khusus memperhatikan perekonomian nasional dengan mendukung konsep pemerataan kemakmuran dalam versi Indonesia Raya Incorporated (IRI), UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN tidak sesuai dengan amanat konstitusi pasal 33.
Ada 7 amanat konstitusi yang terdapat dalam pasal 33 yang terutama ayat 1 hingga ayat 3 yakni pembangunan ekonomi sebagai (1) usaha bersama, (2) didasarkan pada asas kekeluargaan, (3) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, (4) yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta (5) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, (6) dikuasai negara dan (7) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketujuh amanat ini tidak secara tegas disebut dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
“Dalam konteks seperti ini, Nawacita sulit untuk dilaksanakan karena BUMN tidak diamanatkan untuk menjadi kepanjangan tangan negara dalam mencapai kemakmuran rakyat Indonesia. Jika tujuan BUMN hanya mengejar keuntungan seperti yang termuat dalam pasal 2 ayat 1 (b) UU No. 19 tahun 2003, Nawacita butir nomor tiga yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, tidak akan terlaksana,” ujar Kiki Syahnakri.
Sebagai akibat dari tidak terlaksananya butir nomor tiga dari Nawacita itu, Mantan Wakasad itu menjelaskan lebih lanjut, maka butir nomor enam dan tujuh juga tidak akan terlaksana.
Butir nomor enam berbunyi, “Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya” dan butir nomor tujuh berbunyi, “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”.
Dalam konteks holistik, integral dalam Wawasan Nusantara, Indonesia di kemudian hari akan lemah dalam menghadapi ancaman Perang Proxy atau yang oleh Kiki Syahnakri disebut sebagai Perang Generasi Ke-IV.
Perang ini sudah dialami Indonesia sejak 1999 ketika konsultan asing mempengaruhi dalam pembuatan UU yang tidak sesuai dengan dengan UUD NRI 1945 termasuk UU No. 19 Tahun 2003 yang disebutnya sangat kapitalis di mana BUMN didirikan dengan tujuan “mengejar keuntungan” belaka.
Sudah bisa dipastikan, Kiki menjelaskan lebih lanjut, ekonomi Indonesia akan dikuasai asing karena ekonomi nasional tidak dibangun sebagai usaha bersama yang didasarkan pada asas kekeluargaan.
“Seharusnya pembangunan ekonomi nasional disusun dengan melaksanakan 7 butir amanat UUD NRI 1945.
Jika Nawacita butir nomor tiga mengatakan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, itu artinya BUMD, BUMDes harus diikutsertakan dalam kegiatan ekonomi sebagai usaha bersama dengan BUMN,” tegas Kiki Syahnakri.
Karena itu, Kiki Syahnakri mendukung konsep pemerataan kemakmuran yang diusulkan oleh AM Putut Prabantoro yang menggagas Indonesia Raya Incorporated (IRI).
Menurut Putut Prabantoro, IRI merupakan konsep pemerataan kemakmuran melalui perkawinan atau perikatan BUMN dan BUMD (Provinsi dan Kabupaten) dan BUMDes di sebuah sumber ekonomi dengan melibatkan penyertaan modal dari BUMD (Provinsi dan Kabupaten) serta BUMDes seluruh Indonesia.
Dari perkawinan ini, dibangunlah Pasar Saham IRI yang dijual kepada rakyat seluruh Indonesia termasuk di dalamnya koperasi.
“Sebagai contoh Freeport seharusnya dikelola dalam konsep IRI dengan melakukan perkawinan antara BUMN dan BUMD (provinsi dan kabupaten) serta BUMDes di sumber ekonomi tersebut. Perkawinan itu akan berbentuk PT yang akan menjual saham kepada BUMD (provinsi dan kabupaten) serta BUMDes seluruh Indonesia. Rakyat Indonesia melalui mekanisme Pasar Saham IRI dapat membeli saham PT yang mengelola Freeport tersebut. Pasar Saham IRI itu merupakan pasar saham untuk satu jenis komoditas yang diproduksi dari berbagai daerah di seluruh Indonesia,” ujar Putut Prabantoro, alumnus PPSA XXI – Lemhannas RI Tahun 2017.
Dalam konteks seperti ini, menurut Putut Prabantoro, sebuah sumber ekonomi dalam konsep IRI akan menjadi pemersatu seluruh daerah Indonesia karena masing-masing daerah memiliki saham di sumber ekonomi tersebut.
Yogyakarta atau Bali, Putut memberi contoh, meski tidak memiliki sumber minyak bumi tetap dapat menikmati kemakmuran yang berasal dari minyak bumi karena memiliki saham di sumber ekonomi di daerah lain.
Akibat dari dilaksanakannya sistem IRI ini, penulis buku “Migas – The Untold Story” terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2014 itu, memastikan persatuan wilayah NKRI diperkuat melalui usaha bersama di sebuah sumber ekonomi tersebut. Sehingga butir nomor tiga, enam dan tujuh dari Nawacita dapat terwujud.
Dengan demikian, dijelaskan Putut lebih lanjut, cita-cita para pendiri negara sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 untuk memakmurkan rakyat Indonesia akan terwujud melalui perkawinan BUMN – BUMD dan BUMDes, yang pada akhirnya akan membuat BUMN dan BUMD tersebut menjadi besar secara bersama-sama karena berakar kuat di masyarakat.
Tentunya dengan demikian, Indonesia akan mampu menghadapi persaingan global.
Dan itu hanya dapat dilakukan bila BUMN yang sehat dan profesional di bidangnya masing-masing bertindak menjadi “lokomotif” ekonomi yang menarik “gerbong-gerbong” ekonomi (BUMD dan BUMDes).