TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden tidak relevan diterapkan di Indonesia.
Pertama, pasal tersebut pernah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006.
Bivitri mengatakan, semestinya legislator mengerti bahwa yang namanya putusan MK, tidak boleh dimasukkan lagi ke undang-undang.
Baca: Lawan Persija Jakarta, Djadjang Nurdjaman: Kami Tidak Terpengaruh Kehadiran The Jakmania
“Alasan kedua, ada atau tidak ada putusan MK, memang sudah tidak relevan, karena pasal itu (hukum) lese majeste, biasanya munculnya di negara-negara monarkhi,” kata Bivitri, di Jakarta, Jumat (9/2/2018).
Hukum lese majeste diterapkan di negara-negara monarkhi atau kerajaan, karena Raja dianggap sebagai simbol negara. Di Eropa, hukum ini masih ada di Norwegia, Denmark, dan Belanda.
Akan tetapi, pasal ini sudah tidak pernah digunakan lagi karena dianggap tidak relevan lagi dengan alam demokrasi saat ini.
“Yang pakai dan berulang kali dikutip oleh Pak Jusuf Kalla hanya Thailand. Dan lagi-lagi, itu negara kerajaan. Tapi di sini (Indonesia) kan bukan negara kerajaan,” kata Bivitri.
Dalam negara hukum modern, Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dan bukan sebagai lambang negara.
Bivitri menjelaskan, Presiden sebagai ‘simbol negara’ dalam konstitusi di Indonesia, berbeda maksudnya dari ‘simbol negara’ dalam pasal-pasal lese majeste.
Menurut Bivitri, kalau dengan alasan melindungi Presiden, sebenarnya bisa digunakan pasal pencemaran nama baik.
Sementara itu, jika alasannya perlakuan sama seperti terhadap kepala negara lain, Bivitri menegaskan, sebenarnya pasal itu pun juga tidak relevan.
“Pasal itu sudah tidak relevan, karena dibuatnya tahun 1800-an. Belum ada HAM internasional, belum terlalu maju. Tapi kita kan sudah borderless sekarang,”pungkasnya.
Berita ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul: Indonesia Bukan Negara Monarkhi, Tidak Relevan Gunakan Pasal Penghinaan Presiden