TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Subang, Jawa Barat, pada Rabu (14/2/2018) dini hari.
Dalam OTT tersebut KPK mengamankan delapan orang, satu diantaranya adalah Bupati Subang Imas Aryumningsih. Selain itu ada pihak lain yang diamankan oleh KPK.
Bupati Subang Imas Aryumningsih sendiri merupakan pengganti mantan bupati Ojang Sohandi yang terjerat kasus korupsi, suap, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Sebelumnya Imas merupakan wakil bupati, sempat menjadi pelaksana tugas bupati. Imas menggantikan Ojang dan menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati pada 11 April 2016, dan dilantik menjadi Bupati Subang definitif di Gedung Sate, pada 8 Juni 2017. Imas merupakan politikus Partai Golkar.
Dalam catatan Tribunnews.com, Imas merupakan kepala daerah keempat diciduk oleh lembaga antirasuah dalam rentang waktu kurang dari dua bulan di tahun 2018 ini.
Berikut empat kepala daerah yang terciduk dalam OTT KPK:
1. Bupati Subang Imas Aryumningsih
Tim satgas KPK menjaring delapan orang, satu diantaranya adalah Bupati Subang Imas Aryumningsih dalam OTT di Subang, Jawa Barat, pada Rabu (14/2/2018) dinihari.
"Dari kegiatan tadi malam, diamankan delapan orang, termasuk kepala daerah di Subang, kurir, swasta dan unsur pegawai setempat," ujar Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah, melalui pesan singkat.
Febri mengungkapkan bahwa kedelapan orang yang terjaring dalam OTT belum ditentukan status hukumnya.
Satgas KPK mengamankan sejumlah uang yang diduga untuk transaksi praktik korupsi.
Febri mengungkapkan bahwa uang tersebut berjumlah ratusan juta rupiah. Namun dirinya tidak memberi tahu awak media, jumlah pasti dari uang tersebut.
"Ratusan juta sejauh ini. Diduga dari pembicaraan awal milyaran rupiah," ungkap Febri.
Berdasarkan temuan awal penyidik, transaksi ini terkait dengan kewenangan perizinan dari Pemkab Subang.
Febri tidak membeberkan perizinan dimaksud terkait dengan proyek apa.
"Dari identifikasi awal transaksi diduga terkait dengan kewenangan perizinan," ujar Febri melalui pesan singkat.
2. Bupati Ngada, NTT, Marianus Sae
Bupati Ngada, Marianus Sae, yang terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi diketahui maju dalam Pilkada Nusa Tenggara Timur (NTT).
KPK menduga aliran uang suap dari Direktur PT Sinar 99 Permai, Wilhelmus Iwan Ulumbu (WIU) tersebut akan digunakan untuk biaya kampanye oleh Marianus.
"Apakah ini akan dilakukan untuk biaya kampanye? Prediksi ya, prediksi dari tim kita kemungkinan besar dia butuh uang untuk itu (kampanye)," ujar Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, saat konferensi pers di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (12/2/2018).
Namun Basaria belum dapat memastikan hal tersebut. Saat ini tim dari KPK masih menelusuri aliran dana dari Marianus untuk biaya Pilkada.
"Tapi apakah itu pasti untuk sana kita belum bisa mengatakan itu karena kita belum menerima. Belum menemukan jalur sesuatu yang diberikan kepada pihak yang akan melakukan tim-tim yang berhubungan dengan Pilkada tersebut," kata Basaria.
Namun Basaria kembali menegaskan bahwa dana tersebut besar kemungkinan digunakan untuk keperluan dirinya maju dalam Pilkada NTT.
"Tapi prediksi dari tim tadi sudah mengatakan kalau yang bersangkutan akan balon (bakal calon) gubernur Sudah barang tentu memerlukan dana yang banyak. Itu kira kira," tegas Basaria.
Seperti diketahui, Marianus diduga menerima suap total Rp 4,1 miliar yang berkaitan dengan proyek di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Uang tersebut diduga diberikan oleh seorang Direktur PT Sinar 99 Permai, Wilhelmus Iwan Ulumbu. Selama ini Wilhelmus kerap mendapatkan proyek-proyek infrastruktur di Ngada, NTT.
Dalam kasus ini, WIU disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sementara Marianus disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Abdul Latif
Mengawali tahun 2018, KPK bergerak cepat melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepala daerah.
Kali ini, tim antirasuah menangkap Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Abdul Latif dan sejumlah orang di Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, dan Surabaya, Jawa Timur, Rabu (3/1/2018) hingga Kamis (4/1/2018).
Juru bicara KPK, Febri Diansyah menjelaskan bahwa kedua operasi tangkap tangan (OTT) itu masih dalam satu perkara.
Pada Jumat (5/1/2018) sore, akhirnya Bupati Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, Abdul Latif meninggalkan kantor KPK dengan mengenakan rompi tahanan berwarna oranye alias menjadi tersangka.
Ia pun pasrah dan hanya mengacungkan jempol saat digiring petugas KPK ke mobil tahanan.
Abdul Latif selaku bupati adalah satu di antara enam orang yang sehari sebelumnya terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh tim KPK melakukan praktik dugaan suap di HST, Kalimantan Selatan dan Surabaya, Jawa Timur.
4. Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko
KPK mengamankan Bupati Jombang sekaligus kader Golkar Nyono Suharli Wihandoko (NSW) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT).
KPK pun kini telah menetapkan Nyono sebagai tersangka bersama seorang lainnya yakni Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Jombang Inna Silestyowati (IS).
Keduanya diamankan bersama 5 orang lainnya yakni Kepala Puskesmas Perak sekaligus Bendahara Paguyuban Puskesmas se-Jombang Oisatin (OST), Kepala Paguyuban Puskesmas se-Jombang Didi Rijadi (DR), Ajudan Bupati Jombang Munir (M), serta S dan A.
NSW ditangkap saat tengah berada di sebuah restoran siap saji di Stasiun Solo Balapan, Solo, Sabtu (3/2/2018), sekira pukul 17.00 WIB, saat hendak menunggu kereta yang aakan membawanya ke Jombang.
Ia ditangkap dengan uang sitaan sebesar Rp 25.550.000 dan US$ 9.500.
Sedangkan IS diamankan di sebuah apartemen di Surabaya, bersama S dan A, pada hari yang sama.
Dari IS ditemukan catatan dan buku rekening bank atas nama IS yang diduga menjadi tempat menampung uang kutipan itu.
NSW diduga menerima himpunan dana dari 34 Puskesmas se-Jombang, yang masing-masing dipotong sebanyak 7 persen.(*)