TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bangsa Indonesia selama ini dikenal sebagai bangsa yang guyub dengan segala kearifan lokal yang ada.
Contohnya gotong royong, kerja bakti, tahlilan, sistem keamanan lingkungan (siskamling) dan lain-lain. Sayang segala kearifan lokal itu kini agak tergerus seiring dengan modernisasi.
Akibatnya banyak masyarakat menjadi individualis dan terkesan tidak peduli dengan lingkungan dan masyarakat sekitar.
Ironisnya, celah itulah yang kini justru berhasil digunakan kelompok radikal terorisme untuk masuk dan menyusup dalam masyarakat, sebelum melakukan aksi teror.
Maraknya aksi teror akhir ini, baik itu dilakukan berkelompok maupun sendiri (lone wolf) dilakukan setelah mereka mengelabui masyarakat sekitar, terutama saat melakuan perencanaan aksi dengan mengontrak rumah.
Karena ketidakpedulian lingkungan itulah, kegiatan mereka jadi tidak terdeteksi sehingga bisa melakukan aksi.
Terkhir teror di Gereja St Lidwina, Sleman, dimana pelaku sudah teradikalisasi dalam waktu lama, bahkan sempat mengajukan paspor untuk berangkat ke Suriah. Pelaku juga enggan bergaul dengan tetangganya karena beda pemahaman tentang agama.
Padahal, kalau sejak awal, masyarakat yang sudah mendeteksi kejanggalan pelaku, membuat laporan ke aparat, mungkin kejadian-kejadian teror lone wolf seperti itu tidak terjadi.
“Sebagai antisipasi aksi teror seperti itu, cara paling efektif aktifkan kembali sistem Siskamling. Bangun pos-pos penjagaan di setiap wilayah RT-RW dengan dilengkapi CCTV. Selain Siskamling konvensional,
tidak bisa ditawar lagi harus dilakukan Siskamling di media sosial (medsos),” ungkap praktisi hukum Dr. Suhardi Somomoeljono, Jumat (16/2/2018).
Siskamling medsos, lanjut Suhardi, bisa dilakukan dengan membentuk grup-grup messenger di setiap RT dan RW. Nantinya dari informasi itulah diharapkan bisa terdeteksi berbagai hal yang terjadi di lingkungannya, terutama bila ada warga yang bertingkah aneh-aneh dalam berideologi dan beragama.
“Ingat tahun 2018-2019 adalah tahun politik. Menjadi tugas kita semua untuk bersatu padu menyatukan warga untuk selalu waspada dengan berbagai gangguan yang mungkin terjadi, khususnya radikalisme dan terorisme,” kata Suhardi.
Menurut pria yang juga akademisi Ahli Hukum Pidana Universitas Matlaul Anwar Banten ini, kapanpun dan manapun di seluruh dunia, manusia baik secara individu maupun kelompok dapat teradikalisasi dalam motif beragam. Karena itu, deteksi dini ini sangat penting daripada harus menanggung akibat sampai terjadi teror.
“Kejadian aksi teror saat misa di Gereja St Lidwina adalah contoh kongkrit ada manusia secara pribadi melakukan tindakan sendiri dengan cara menyerang melukai umat yang notabene tengah beribadah. Ini sangat biadab, karena faktanya radikalisme adalah terorisme adalah perbuatan keji,” papar pria yang juga pakar deradikalisasi.
Ia menilai, peristiwa teror itu bisa saja dilakukan atas kesadaran sendiri disebabkan persepsi yang secara internal sudah terbentuk secara inklusif pada diri seseorang. Sebaliknya bisa juga disebabkan karena dorongan dari pihak lain yang motifnya sangat variatif.
Menghadapi adanya dua kemungkinan sebagai faktor penyebab itu, ia mengimbau pihak penegak hukum jangan sampai kehilangan sumber informasi dari pelaku tersebut. Selain itu, dalam menggali informasi
dari pelaku, idealnya dari awal penyidik melibatkan peneliti dan psikologi sehingga dalam melihat sosok pelaku itu benar-benar utuh.
“Semua harus digali, baik psikologi pelaku maupun sejarah kenapa pelaku bisa teradikalisasi. Apalagi bisa menggali jaringan pelaku. Itu akan sangat efektif untuk mengantisipasi dan memetakan sel-sel radikalisme di Indonesia,” tandas Suhardi.