TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bupati Nonaktif Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, punya cara tersendiri untuk mengeruk uang dari para rekanan pemerintah daerah.
Ia menunjuk mantan anggota DPRD Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Khairudin, untuk mengumpulkan uang dari para rekanan yang disetor melalui para kepala dinas (kadis).
Terdakwa Rita Widyasari dan terdakwa Khairudin, Komisaris PT Media Bangun Bersama (MBB), menjalani sidang kedua di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (28/2/2018).
Dalam sidang kali ini jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan empat saksi yang berasal dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kutai Kartanegara.
Para saksi itu antara lain Aji Said, Rahyul, Ibrahim, dan Suroto.
Dua saksi yang sudah diperiksa yaitu Aji Said (Kasie Bagian Dampak Lingkungan dan Rahyul (Kasie Penanganan Sampah).
Sedang dua saksi lainnya, Ibrahim dan Suroto belum diperiksa.
Dalam surat dakwaan, Rita didakwa menerima gratifikasi Rp 469 miliar lebih dari para pemohon perizinan dan para rekanan pelaksana proyek di sejumlah dinas Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Baca: Tak Mudah Bagi Agus Memaafkan Pelaku Aksi Terorisme yang Membuatnya Harus Dioperasi Berkali-kali
Gratifikasi diperoleh Rita sejak masa jabatannya sebagai Bupati Kutai Kartanegara periode 2010 hingga 2017.
Jaksa mengungkap, penerimaan gratifikasi ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan permohonan izin pengerjaan proyek di Kutai Kartanegara.
"Terdakwa I (Rita) tahun 2010 mencalonkan diri sebagai Bupati Kutai Kartanegara untuk periode 2010-2015. Terdakwa II (Khairudin) saat itu merupakan anggota DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara," ujar jaksa.
Terdakwa II juga menjadi anggota Tim pemenang yang diberi nama Tim 11.
Anggota Tim 11 yang lain yaitu Andi Sabrin, Junaidi, Zarkowi, Abrianto, Dedy Sudatya, Rusdiansyah, Akhman rizani, Abdul rasyid, Erwinsyah, dan Fajri Tridalaksana.
Setelah dilantik sebagai Bupati Kutai Kartanegara, Rita menugaskan Khairudin sebagai staf khusus untuk membantu tugasnya.
Tidak hanya itu, Rita juga meminta Khairudin mengkondisikan penerimaan uang terkait perizinan dan proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Alhasil Khairudin mengundurkan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara.
Menindaklanjuti permintaan Rita, Khairudin menyampaikan kepada para kepala dinas agar meminta uang kepada para pemohon perizinan dan para rekanan pelaksana proyek.
Selanjutnya uang akan diambil oleh Andi Sabrin, Junaidi, Ibrahim dan Suroto.
Baca: Belasan Kotak Suara Dijual Seharga Rp 175 Ribu, Hasilnya Dibagi Dua
"Sebagai realisasinya dalam rentang waktu bulan Juni 2010 sampai Agustus 2017, terdakwa I (Rita) secara langsung maupun melalui terdakwa II (Khairudin) telah menerima uang Rp 469 miliar lebih," terang jaksa.
Berbagai Sumber
Penerimaan ini berasal dari beberapa sumber seperti para pemohon penerbitan SKKL dan Izin Lingkungan pada Badan Lingkungan Hidup Daerah pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara, serta penerimaan dari pemohon terkait penerbitan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Ada pula penerimaan secara bertahap dari pihak swasta terkait proyek pembangunan RSUD Parikesit, proyek pembangunan jalan Tabang tahap III Baru Kabupaten Kutai Kartanegara, Proyek pembangunan SMA Negeri Unggulan 3 Tenggarong, dan Proyek lanjutan Seminisasi Kota Bangun-Liang Ilir.
Selain itu juga Proyek Kembang Janggut Kelekat Kabupaten Tenggarong, Proyek Irigasi Jonggon kutai Kartanegara, dan Proyek Pembangunan Royal Word Plaza Tenggarong yang jumlahnya bervariasi ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Baca: Keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Akhirnya Jadi Tersangka
Selain penerimaan itu, Khairudin menerima uang atas penjualan perusahaan PT Gerak Kesatuan Bersama yang diberikan izin pertambangan seluas 2.000 hektare oleh Rita, seluruhnya sebesar Rp 18.900.000.000 dari Juanda Lesmana Lauw.
Padahal modal perusahaan tersebut hanya sebesar Rp 250 juta.
Uang tersebut diterima secara bertahap sejak 2010 sampai 2011 yang ditransfer ke rekening Bank Mandiri KCP Tenggarong atas nama Khairudin.
Uang Rp 14.400.000.000 dari rekening PT Tanjung Prima Mining dan Rp 4.500.000.000 dari rekening PT Hanu Mitra Papua Industri.
"Terdakwa I (Rita) menerima uang seluruhnya sebesar Rp 469 miliar dan tidak melaporkan ke KPK sampai dengan batas waktu 30 hari," tambah jaksa. (tribunnetwork/theresia felisiani)