Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) jika tidak dikawal dengan baik melalui regulasi yang tepat sangat berpeluang dimanfaatkan oleh oligarki menjelang Pemilu 2019 yang menggunakan mesin partai untuk melanggengkan kuasa ekonomi dan politik yang telah dinikmati.
Langgengnya oligarki atau sejumlah kecil individu tersebut semakin mudah akibat kuatnya keinginan pemerintah saat ini untuk mewujudkan privatisasi maupun holding yang berpeluang menjauh dari amanat konstitusi mensejahterakan rakyat dengan menumpukan berbagai regulasi ekonomi untuk mewujudkan peran negara yang lebih besar terhadap ekonomi dan pasar di tangan sebagian aparatus pemerintah merupakan ciri oligarki yang pernah terjadi di masa Orde Baru.
Pada sisi lain, kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk menyatukan kekuatan ekonomi yang ada sebagai mesin ekonomi tanpa banyak gangguan politik merupakan upaya pragmatis pemerintah dalam mencapai target-target pembangunan ekonomi terutama infrastruktur yang selama ini tertinggal.
Demikian kesimpulan dari Diskusi bertema BUMN Dalam Lingkaran Oligarki yang digelar Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya Jakarta dengan menghadirkan sejumlah pembicara a.l. Liona Nanang Supriatna, pengacara anggota tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Nasional, Profesor Jeffry Winters, pengamat politik dari Northwestern University, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio dan Yohanes Berchman Suhartoko, Kaprodi Ekonomi Pembangunan Unika Atma Jaya, Kamis (8/3/2018) berlangsung di Unika Atma Jaya, Jakarta.
Liona Nanang Supriatna menilai UU BUMN menyebabkan sejumlah BUMN justru dikelola dengan tidak profesional, cenderung tidak efisien dan justru hanya menguntungkan pengelola BUMN maupun pihak yang mendapat keuntungan dari BUMN.
"Saya mengingatkan, sebentar lagi adalah masa Pemilu dan bulan ini akan dilakukan RUPS sejumlah BUMN yang berujung pada pergantian direksi dan komisaris BUMN. Artinya akan ada upaya menggunakan BUMN untuk mencari dana politik mengikuti Pemilu," tutur pengajar Fakultas Hukum Unika Parahyangan.
Hal senada dikatakan Profesor Jeffry Winters, pengamat politik dari Northwestern University tentang langkah gugatan hukum terhadap UU BUMN maupun Peraturan Pemerintah tentang holding BUMN Pertambangan merupakan tindakan yang benar dalam kerangka demokrasi di Indonesia.
"Menggunakan cara benar belum tentu menghasilkan hal yang baik, namun paling tidak dilakukan dengan cara yang benar dalam sistem demokratis. Upaya menggugat regulasi adalah upaya benar dalam demokrasi, membuat banyak pihak tetap menyadari adanya persoalan pada institusi yang seharusnya memperjuangkan kesejahteraan rakyat," paparnya.
Agus Pambagio menuturkan upaya gugatan terhadap pengelolaan BUMN tidak sekali saja dilakukannya, sebelumnya pihaknya pernah melakukan gugatan PP 72 yang berujung pada kekalahan. Meski demikian semangat gugatan tersebut tetap ada pada gugatan terhadap PP 47 tentang holding BUMN Pertambangan.
"Dasar kami menggugat adalah status sejumlah BUMN yang sebelumnya berdiri sendiri kemudian karena adanya holding dipaksa menjadi anak perusahaan yang membuat pengawasan eksternal [DPR] termasuk sulitnya pemeriksaan KPK dan BPK. Ini beresiko penyalahgunaan BUMN," ujarnya.
Dia mengingatkan adanya peluang masalah di masa mendatang akibat seluruh BUMN Karya yang dipaksa membangun infrastruktur dalam waktu singkat. Tuntutan cepat membangun membuat BUMN Karya berhutang yang pada suatu saat harus membayar hutan beserta bunganya.
Meski demikian, Yohanes Berchman Suhartoko menilai upaya holding BUMN dalam tataran monopoli jika mengikuti paradigma para pemikir Chicago bukanlah sesuatu hal yang harus dikhawatirkan karena selain bersifat temporal. Monopoli tersebut timbul karena proses produksi yang memang lebih efisien.
"Nah kenapa justru BUMN yang monopoli yang rugi? Itu pasti ada sesuatu. Tetapi menariknya jika kita melihat industri perbankan di Indonesia justru sangat oligopoli yang beresiko ketika ada persoalan ekonomi. Meski demikian saya melihat holding BUMN untuk bersaing di tingkat global merupakan hal yang baik asal dikelola dengan baik," ujarnya.
Akbar Aziz perwakilan Federasi Buruh Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Lampung menuturkan pengelolaan BUMN masih carut marut, tidak memperjuangkan nasib pekerja dan hanya menguntungkan segelintir pihak ketika dilakukan pengembangan anak usaha.
"Salah satu bukti adalah pemeriksaan BPK terhadap Jakarta International Container Terminal maupun terminal peti kelas Pelabuhan Koja ditemukan kerugian yang nilainya jika digabungkan lebih besar dari kasus E-KTP. Hal tersebut justru lepas dari perhatian," paparnya. (*)