Sedangkan sebanyak 40 unit komputer dipinjam dari siswa.
Baca: Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman Kecewa Salah Satu Staf Terbaiknya Disebut sebagai Kuda Troya
Kemudian di SMAN 1 Monta, Bima, NTB. Sekolah hanya mampu menyediakan 28 unit komputer, sedangkan 9 unit dipinjam dari guru, lalu dipinjam dari SMK terdekat 10 unit dan SMP terdekat 19 unit.
Begitu juga di SMAN 1 Gunung Sari, Lombok Barat. Sekolah terpaksa meminjam 30 unit komputer dari SMK dan 20 unit dari SMP.
Hal tersebut dilakukan karena sekolah hanya mampu menyediakan 47 unit komputer.
Adapun, SMAN 6 Mataram (NTB) terpaksa meminjam computer ke SMPN terdekat, karena jumlah peserta UNBK nya mencapai 361 orang, tetapi sekolah hanya memiliki 80 unit computer dan 4 server.
Untuk melaksanakan 3 sesi ujian maka sekolah terpaksa meminjam 40 lebih komputer ke sekolah lain.
"Khusus di MA Swasta, sebagian besar mereka mendapat pinjaman laptop client dari siswa, dan penyiapan instal VHD dan sinkronisasinya masih banyak harus dibantu tim Helpdesk Kab/Kota atau Propinsi melalui Remote Dekstop tim viewer (TV), dan banyak yang harus mengalami unlock server karena kesalahan instal. Hingga H-1 juga masih terdapat beberapa MA yang belum melakukan sinkronisasi. Hal ini menunjukkan disamping minimnya sarana juga sosialisasi dan edukasi tentang UNBK belum merata," ujar Mansur, pengurus SGI Mataram yang merupakan jaringan FSGI di Nusa Tenggara Barat.
Baca: Biasa Hidup Sederhana, Tak Ada Mobil Mewah di Garasi Rumah Brigjend Pol Firli
"Potret penyelenggaraan UNBK yang minim komputer sebagai sarana pendidikan, kendala-kendala teknis, jaringan internet dan lainnya tentu tidak akan mampu melayani pendidikan berbasis IT dengan baik. Bagaimana SMA tersebut mau mengantar siswanya di masa depan yg berorientasi kerja berbasis Digital, Komputerisasi dan robotik, seperti yg sering digaungkan oleh pemerintah, tentang pendidikan di era Revolusi Industri Generasi ke Empat (4.0). Jika diukur dari kekurangan kesiapan dalam UNBK ini, tampak sekali jika kampanye tentang Revolusi Industri 4.0 sangat paradoks dengan realita kesiapan masyarakat Indonesia, khususnya di bidang pendidikan," ungkap Satriwan Salim, Wakil Sekjen FSGI yang juga guru di SMA Labshool Rawamangan, Jakarta.
"Bagaimana sekolah-sekolah yang melaksanakan UN berbasis kertas. Yang artinya mereka tidak mempunyai sarana CBT, sehingga pembelajaran berbasis IT hampir tak tersentuh. Begitu juga nasib sekolah-sekolah di wilayah terpencil yang melaporkan keberadaan sekolahnya kepada FSGI dengan penuh keterbatasan," kritik Heru Purnomo yang juga pengajar di SMPN 106 Jakarta.
Biaya Lebih Banyak
Ternyata pembiayaan UNBK jika dibandingkan dengan UN berbasis kertas, ada sekolah mengaku mengeluarkan biaya yang lebih banyak.
"Biaya-biaya tersebut tidak hanya harus mengeluarkan honor dan konsumsi panitia dan pengawas, untuk UNBK perlu tambahan biaya Honor proctor, teknisi, biaya sinkronisasi, pengadaan modem, Modem, biaya pengamanan 24 jam agar computer atau laptop tidak dicuri, biaya penambahan daya bagi sekolah yang belum memenuhi minimal daya listrik," urai Mustajib, Ketua SGI Mataram.