Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pencalonan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden 2019 adalah konsekuensi sikap PDI Perjuangan yang mengusung kadernya untuk menduduki jabatan publik di ranah eksekutif.
Apalagi setelah menang dalam Pilpres 2014 dan menduduki jabatan Presiden, menurut Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pariera, Jokowi menunjukan kinerja yang baik.
Untuk itu, PDI Perjuangan kembali mengusung Jokowi.
Menurut dia, kosekuensi dari dukungan tersebut akan berdampak terhadap peningkatan suara untuk PDI Perjuangan.
Baca: Korban Tewas Ledakan Sumur Minyak di Aceh Timur Bertambah Jadi 18 orang
"Pengusungan tersebut secara teoritis akan berdampak pada perolehan suara PDI Perjuangan," jelas anggota Komisi I DPR RI ini kepada Tribunnews.com, Rabu (25/4/2018).
Hal itu disampaikan Andrea Pareira menanggapi hasil survei Litbang Kompas, bahwa elektabilitas PDI-Perjuangan mencapai 33,3 persen.
Angka tersebut sedikit naik dibandingkan dengan survei pada Oktober 2017.
Baca: Jokowi Bahas Kasus Bank Century dengan Kepala Eksekutif Hong Kong
Tingkat keterpilihan PDI-Perjuangan ini sedikit banyak menguatkan tesis selama ini terkait parpol petahana, yakni elektabilitasnya seiring dengan tokoh yang saat memimpin pemerintahan.
Hal ini terlihat ketika elektabilitas Presiden Jokowi meningkat, hal yang sama terjadi juga pada PDI Perjuangan.
Sementara itu, elektabilitas Gerindra 10,9 persen dan Partai Golkar relatif konsisten 7-9 persen.
Secara politis, lebih jauh kata dia, itu adalah konsekuensi logis hubungan partai dan kadernya.
Baca: Fahri Hamzah Sebut Jokowi Bisa Tak Dapat Tiket di Pilpres, PDIP: Banyak Partai Sudah Mendukung
Yakni, dia menjelaskan, Kalau kader berprestasi baik akan memberi insentif positif bagi partai. Sebalinya, kalau kader bercitra buruk juga akan berimbas pada partai.
Ia pun mengutip banyak lembaga survei yang mengatakan kalau PDI Perjuangan akan meraih dukungan suara diatas 25 persen pada Pemilu 2019 yang akan datang.
Satu yang pasti bahwa PDI Perjuangan berupaya untuk meningkatkan perolehan kursi diatas capaian pada tahun 2014 yang lalu.
Lebih jauh ia juga berbicara mengenai Coattail effect merupakan efek yang mencalonkan orang populer, partai akan mendapatkan limpahan suara dari orang tersebut. Hal ini sudah sangat dipahami oleh PDI Perjuangan.
Soal rumusan untuk memaksimalkan coat-tail effect tersebut, ia mengaku itu yang sedang digarap oleh partai agar coat-tail effect tersebut dapat berdampak maksimal.
"Saya melihat sah- sah saja kalau parpol lain yang mendukung Jokowi mempunyai harapan untuk menikmati coat-tail effect tersebut," tegasnya.
Ini pun merupakan konsekuensi logis dari harga sebuah dukungan karena dalam politik ini hal merupakan sesuatu yang biasa.
Rakyat pun tahu, lanjut dia, kalau Jokowi itu siapa dan darimana dia berasal.
karena itu PDI Perjuangan tidak akan kehilangan dukungan karena partai lain menikmati coat-tail effect atas dukungannya terhadap Jokowi.
Justru PDI Perjuangan akan lebih berperan dan akan lebih kuat menunjukan jati dirinya sebagai partai pelopor.
"Dan kalau ada anggapan bahwa dukungan terhadap partai stagnan, justru saya melihat dukungan rakyat kepada PDI Perjuangan relatif dinamis dengan kecenderungan yang meningkat," jelasnya.
Litbang Kompas merilis, jika dikategorikan berdasarkan angka tingkat keterpilihan dari survei kali ini, setidaknya ada tiga kategori kelompok parpol.
Pertama, kelompok yang ketika diproyeksikan dengan potensi maksimal suara (memperhitungkan sampling error) dari survei ini akan berpotensi meraih elektabilitas 10 persen atau lebih.
PDI Perjuangan, Partai Gerindra, dan Partai Golkar ada di kategori ini. Elektabilitas PDI Perjuangan mencapai 33,3 persen. Angka ini sedikit naik dibandingkan dengan survei pada Oktober 2017.
Yohan mengatakan, tingkat keterpilihan PDI Perjuangan ini sedikit banyak menguatkan tesis selama ini terkait parpol petahana, yakni elektabilitasnya seiring dengan tokoh yang saat memimpin pemerintahan.
Hal ini terlihat ketika elektabilitas Presiden Jokowi meningkat, hal yang sama terjadi juga pada PDI Perjuangan.
Sementara itu, elektabilitas Gerindra 10,9 persen dan Partai Golkar relatif konsisten 7-9 persen.
Kategori kedua adalah kelompok parpol yang potensi maksimal keterpilihannya dalam rentang 4-10 persen.
Ada tujuh parpol yang masuk kelompok ini, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Nasdem.
Kelompok parpol di kategori kedua ini berpotensi jadi representasi parpol menengah.
Dari ketujuh partai itu, hanya PKB yang relatif meningkat elektabilitasnya meski masih jauh dari perolehan suaranya di Pemilu 2014.
Sebaliknya, keenam parpol lainnya yang memiliki kursi di DPR, seperti Partai Demokrat, Nasdem, PAN, PPP, dan PKS, cenderung menurun.
Sementara itu, salah satu parpol baru, Perindo, masuk dalam kategori ini.
Kategori ketiga adalah kelompok parpol yang potensi maksimal keterpilihannya kurang dari 4 persen. Ada empat partai politik yang masuk dalam kategori ini.
Tiga di antaranya adalah parpol baru, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda).
Tiga lainnya adalah parpol lama, yakni Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Parpol di kategori ketiga ini menghadapi tantangan berat untuk bisa lolos ambang batas parlemen yang pada Pemilu 2019 besarnya 4 persen.
Survei ini dilakukan dengan tatap muka terhadap 1.200 responden pada 21 Maret-1 April 2018. Responden dipilih secara acak bertingkat di 32 provinsi dan jumlahnya ditentukan secara proporsional.
Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error plus minus 2,8 persen.