TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai gagal menciptakan shock therapy (terapi kejut) dan deterrent effect (efek jera).
“Buktinya, masih saja ada oknum pejabat yang terjaring OTT (operasi tangkap tangan),” kata praktisi hukum Dr Anwar Budiman di Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Jumat (4/5/2018), KPK melakukan OTT terhadap anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat Amin Santono usai menerima suap terkait penganggaran dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2018.
Selain menetapkan Amin Santono dan pejabat Kementerian Keuangan Yaya Purnomo sebagai tersangka penerima suap, KPK juga menetapkan Eka Kamaluddin dari pihak swasta sebagai tersangka perantara suap, dan kontraktor Ahmad Ghiasti sebagai tersangka pengepul suap.
Mengapa KPK gagal menciptakan terapi kejut dan efek jera? Menurut Anwar, karena vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap terdakwa korupsi kebanyakan terlalu ringan.
“Bahkan seandainya para terpidana korupsi diberi kesempatan menjadi pejabat lagi, niscaya mereka akan kembali korupsi, karena hukuman yang dijatuhkan terhadap mereka terlalu ringan. Mereka tidak jera,” jelas advokat yang pada pekan lalu meraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Krisnadwipayana ini.
Karena hukuman terhadap pelaku korupsi terlalu ringan, kata Anwar, maka para oknum pejabat yang punya niat untuk korupsi pun tidak mengalami terapi kejut ketika ada oknum pejabat yang terkena OTT atau terdakwa korupsi yang divonis ringan.
“Ada dua faktor pemicu korupsi, yakni niat dan kesempatan. Tidak adanya shock therapy menjadikan oknum pejabat tidak mengurungkan niat untuk korupsi,” paparnya.
Mengapa yang dikritik KPK ketika banyak terdakwa korupsi divonis ringan? Menurut Anwar, hukuman yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor ternyata tak jauh berbeda dengan tuntutan jaksa dari KPK.
“Tentu saja KPK ini hanya sebagian. Sebagian lain kesalahan itu ada di majelis hakim Pengadilan Tipikor yang menjatuhkan vonis ringan. Sebagian lagi kesalahan itu ada di Kejaksaan Agung, karena jaksa-jaksa itu, baik dari KPK maupun Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi, bernaung di bawah Kejagung,” urai pria low profile kelahiran Jakarta 1970 ini.
Anwar kemudian menyarankan agar KPK dan Kejagung memerintahkan jaksa-jaksanya untuk menuntut para terdakwa korupsi dengan hukuman maksimal. Bila tidak, jaksa-jaksa itu di-stafkan saja.
“Baru kemudian bila majelis hakim menjatuhkan vonis ringan, Komisi Yudisial bahkan KPK perlu bergerak untuk mengusut dugaan permainan hakim. Kalau banyak terdakwa korupsi divonis ringan, jangan berharap tidak akan lahir pelaku-pelaku korupsi baru. Bahkan akan terjadi regenerasi koruptor,” tandasnya.
Kamis (3/5/2018), Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis data tentang banyaknya koruptor yang divonis ringan. Pada 2017, ICW mencatat total kasus korupsi yang ditangani KPK dan Kejagung sebanyak 1.249 perkara dengan 1.381 terdakwa.
Dari jumlah itu, pada perkara yang ditangani KPK, sebanyak 60% divonis ringan atau 1-4 tahun, 33,33% divonis sedang (lebih dari 4-10 tahun) dan berat (lebih dari 10 tahun) 1,96%. Adapun vonis bebas dan lepas masing-masing 0% dan tidak teridentifikasi 3,92%.
Sementara pada perkara yang ditangani Kejagung, 82,40% divonis ringan, 11,20% divonis sedang, 2,46% divonis berat, lepas 0,41%, tidak teridentifikasi 0,82%, dan di bawah pidana minimal 2,56%. Adapun N.O. atau cacat formil mencapai 0,10%.
Namun, ada perbedaan tajam antara jumlah vonis ringan dan vonis sedang yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi.
Dari keseluruhan perkara yang ditangani, rata-rata vonis pengadilan yang penuntutannya dilakukan KPK adalah 4 tahun. Sementara jaksa pada Kejagung rata-rata menuntut terdakwa koruptor selama 2 tahun 1 bulan.
Dengan demikian, rata-rata vonis tiap pengadilan tidak lebih tinggi dari 2 tahun 2 bulan. Dari data yang ada, rata-rata putusan yang dikeluarkan baik terhadap perkara yang ditangani KPK maupun kejaksaan masih masuk kategori ringan.