TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung membantah dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebut dirinya merugikan negara Rp 4,3 triliun.
Melalui pengacaranya, Syafruddin mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas surat dakwaan jaksa.
"Jelas dakwaan tadi itu error in persona, yang menjual bukan saya dan juga saya mengikuti seluruh aturan. Nanti Pak Yusril akan menyampaikan lebih detail kepada rekan-rekan," kata Syafruddin saat ditemui di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, seperti dikutip Kompas.com, Senin (14/5/2018).
Sementara Pengacara Syafruddin Arsyad Temenggung, Yusril Ihza Mahendra, menilai dakwaan yang dibacakan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang perdana kliennya terkesan dipaksakan alias prematur.
Baca: Ajukan Eksepsi, Sidang Lanjutan Korupsi BLBI Digelar Senin Depan
Menurut Yusril, dakwaan tersebut sebenarnya hanya menyalin apa yang tertulis dalam MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement), dimana dalam MSAA tersebut diatur secara detail perjanjian antara kedua belah pihak antara pemerintah dan para debitur BLBI dan kemudian mekanisme penyelesaiannya dan semuanya sudah diatur di sana.
"Oleh karenanya diatur dalam satu perjanjian dan perjanjian itu sampai hari ini masih berlaku dan di dalamnya itu ada klausa-klausa yang menyatakan bahwa apabila para pihak itu tidak puas terhadap apa yang di putuskan, maka mereka dapat mengajukan komplai dan mengajukan gugatan ke pengadilan," ungkap Yusril.
Yusril juga mengungkapkan keganjilan dari perkara yang terkesan dipaksakan ini, karena jika mengacu kepada isi MSSA tersebut, seharusnya perkara ini tidak cukup bukti untuk bisa menjerat kliennya.
"Sudah 19 tahun lamanya MSAA ini ada dan sudah ditutup dan dianggap sudah selesai semuanya. Tidak pernah ada gugatan dari pihak pemerintah terhadap kasus ini, jadi kasus ini dianggap sudah seleasai dalam perdata, tiba-tiba kalau sekarang KPK menganggap bahwa ada unsur tindak pidana korupsi dan itu didasarkan pada audit BPK yang baru atas perintah KPK sendiri," ungkapnya.
Padahal lanjut Yusril, sebelumya keputusan yang diambil oleh KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) pada 2004 sendiri sudah berdasarkan hasil atas audit dari BPK pada waktu itu yang menyatakan bahwa kasus BDNI itu sudah selesai seluruhnya dan bisa diterbitkan SKL (Surat Keterangan Lunas).
"Bahwa kemudian tahun 2017 dilakukan audit lagi, audit invenstigatif atas permintaan KPK dan hasilnya lain itu menjadi tanda tanya juga dari kami. Karena hasil audit BPK yang sudah ada pada tahun 2006 itu dan telah melahirkan pada suatu kebijakan itu tidak bisa dianulir oleh kebijakan BPK yang baru," tegasnya.
Terlebih lagi kliennya kata Yusril, bukan lah pihak atau pun orang yang bertanggung jawab terhadap penjualan aset eks PT Dipasena.
Diakui Yusril, selain persidangan di Pengadilan Tipikor, kliennya juga telah tengah menjalani persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Syafruddin menggugat Menteri Keuangan dan PT Perusahaan Pengelola Aset Persero (PPA).
Syafruddin menggugat keduanya karena dianggap tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sehingga Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Dalam gugatan tertanggal 3 April 2018, Syafruddin menyatakan tetap berpegang pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006 bahwa Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, pemilik BDNI, layak diberikan karena pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajibannya. (*)