TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Agama merilis 200 nama mubalig atau penceramah agama Islam pada Jumat (18/5/2018).
Adapun kriteria yang bisa masuk dalam daftar tersebut setidaknya mereka yang betul mumpuni dalam arti menguasai secara mendalam dan luas tentang substansi ajaran Islam.
Pun memiliki pengalaman yang cukup besar sebagai penceramah dan Memiliki komitemen yang tinggi terhadap kebangsaan (kemenag.go.id). Pro dan kontra pun terjadi atas rilisan 200 nama mubalik.
Ahli Hukum Tata Negara, A. Irmanputra Sidin menjelaskan Negara dan agama memang tidak bisa dipisahkan. Negara membutuhkan agama begitu pula agama membutuhkan Negara.
Negara (baca: konstitusi) hidup dari basis –basis atau nilai agama, salah satu hal yang paling penting, bahwa anggaran pendidikan kita di-plot minimal 20% dari APBN, dan tujuan pendidikan nasional itu untuk membangun manusia Indonesia “beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (pasal 31 ayat (3) dan (4) UUD 1945).
Artinya, lanjut dia, kehidupan bangsa yang cerdas adalah kehidupan yang diisi dengan keimanan, ketaqwaan dan berakhlak mulia--pasti tidak bisa lepas dari nilai agama--dan inilah yang dibiayai minimal 20% APBN setiap tahun.
Agama juga butuh Negara untuk sebuah proses pelembagaan kembali oleh Negara, begitu pula sebaliknya Negara butuh ukuran-ukuran peradaban masyarakat untuk kemudian dilembagakannya dalam bentuk undang-undang yang salah satu sumbernya adalah nilai agama (pasal 28J ayat (2) UUD 1945).
Berkaitan dengan rujukan 200 mubalig, menurutnya, alasan Negara yang mungkin bisa dibaca bahwa ada kebutuhan agar ada nilai kebangsaan yang bisa diikutkan dalam setiap konten ceramah.
"Ini yang mungkin dirasakan kebutuhan riil Negara terhadap seluruh mubalig," ujar ounder Law Firm Sidin Constitution, A. Irmanputra Sidin & Associates ini kepada Tribunnews.com, Senin (21/5/2018).
Namun, lebih jauh ia menjelaskan, cara menjadikan 200 nama mubalig menjadi rujukan oleh Kemenag bukanlah cara yang tepat bagi Negara.
Kenapa demikian? Salah satu dasarnya bahwa, tidak ada dasar bagi Negara untuk mengatakan bahwa para mubaligh ini berilmu paling tinggi sehingga masuk dalam rujukan.
"Pemerintah tidak didesain untuk menilai ilmu warga Negara siapa yang paling mumpuni dalam suatu bidang ilmu bahkan dalam ilmu ketatanegaraan sekalipun, pemerintah tidak lebih mumpuni dari yang lainnya, apalagi dalam ilmu agama," jelasnya.
Oleh karenanya, tegas dia, alasan yang paling bijaksana adalah Negara butuh pertolongan sosialisasi nilai kebangsaan yang dibutuhkan melalui tausiyah-tausiyah getar jiwa dari para mubalig.
Menurutnya pula, mekanisme ketatanegaraan sebenarnya sudah ada.
Namun bukan rekomendasi 200 mubalig melainkan Pemerintah berhubungan dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia)
"Karena memang MUI dihadirkan sebagai penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional," kata dia.
Termasuk di dalamnya, imbuhnya, nilai kebangsaan yang dikehendaki pemerintah.
Untuk itu kata dia, biarkanlah MUI yang mengkomunikasikan hal tersebut kepada para ulama, umaro dan masyarakat dan bagaimana cara terbaik pelaksanaannya.
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa rilis itu dalam rangka memberi pelayanan atas pertanyaan masyarakat yang membutuhkan nama mubalig.
Hal ini dijelaskan Menag dalam kesempatan live talkshow di salah satu televisi nasional, seperti dikutip Tribunnews.com dari laman Kementeriam Agama (kemenag.go.id)
"Ini bukan seleksi, bukan akreditasi, apalagi standardisasi. Ini cara kami layani permintaan publik," jelas Menag, Senin (21/5/2018).
Menurut Menag, rilis itu juga bukan dalam rangka memilah-milah penceramah.
Rilis dibuat sesuai dengan usulan beberapa kalangan yang sudah masuk ke Kementerian Agama dan akan terus diupdate.
Untuk itu, dalam rilis yang disampaikan, Kementerian Agama juga menyertakan nomor whatsapp yang bisa dijadikan sarana menyampaikan masukan (08118497492).
"Kami menerima banyak sekali masukan dari masyarakat. Dengan senang hati kami akan merilis beberapa yang belum masuk. Kami sudah menyatakan bahwa rilis ini sifatnya dinamis," tuturnya.
"Silahkan saja publik menyampaikan. Kami membuka diri selebarnya untuk menerima masukan," sambungnya.
Ditanya apakah ada motif politik dalam rilis tersebut, Menag menegaskan bahwa itu sama sekali tidak ada.
Daftar mubalig dibuat secara alamiah sesuai daftar usulan yang masuk dari pengurus ormas keagamaan, masjid besar, dan lainnya.
Jika ada mubalig dengan jutaan viewer tapi belum masuk dalam daftar, hal itu semata karena belum masuk dalam usulan.
"Itu bukti tidak ada motif politik di sini. Sama sekali tidak ada. Kalau kami berpolitik praktis, maka tentu kami hanya akan masukan yang pengikutnya besar saja," ujar Menag.
Tentang mubalig yang merasa tidak nyaman karena namanya masuk dalam daftar rilis, Menag menyampaikan permohonan maaf.
"Atas nama Kementerian Agama, selaku Menteri Agama, saya memohon maaf kepada nama yang ada dirilis yang merasa tidak nyaman namanya ada di sana," tandasnya.(*)