Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Orang tua mahasiswa Atma Jaya korban Tragedi Semanggi-Trisakti I tahun 1998, Maria Katarina Sumarsih meminta izin untuk mengambil catatannya terlebih dahulu setelah mempersilahkan Tribunnews.com duduk di ruang tamu rumahnya pada sore itu.
Ia pun sempat meminta suaminya Arief Priyadi untuk bergabung ke ruang tamu rumah berlantai dua di kawasan Meruya Jakarta Barat tersebut.
Setelah kembali, ibu dari alm. Bernardus Realino Norma Irawan alias Wawan yang tewas tertembak di dada oleh peluru tajam aparat pada 1998 itu membawa beberapa lembar kertas HVS dan meletakannya di meja kayu berlapis kaca.
Baca: Percakapan Rika dengan Hendri Sebelum Gadis Cantik Itu Dibunuh dan Dimasukkan ke Kardus
Di antaranya ada salinan dokumen yang diserahkan langsung ke tangan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada Kamis (31/5/2018) di Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Inisiator aksi Kamisan itu menceritakan bahwa setiap aksi Kamisan sejak Presiden Jokowi kampanye dalam Pilpres 2014 dirinya selalu membawa dua buah tas.
Tas pertama berisi perlengkapan pribadinya dan tas kedua berisi dokumen-dokumen lengkap perihal enam peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang ditulis dalam Visi, Misi, dan Program Aksi Jokowi-JK antara lain Kerusuhan 13 sampai 15 Mei 1998, Tragedi Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa terhadap 13 orang aktivis, peristiwa Talang sari - Lampung, Peristiwa Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
"Waktu itu kan Pak Jokowi terkenal suka blusukan. Saya mikirnya sewaktu-waktu Pak Jokowi tiba-tiba datang dan bertemu kami. Jadi dokumen itu bisa langsung saya serahkan. Tahunya nggak," kenang Sumarsih kecewa.
Meski Sumarsih kecewa karena tidak bisa menyerahkan dokumen itu di depan Istana Merdeka Jakarta Pusat ketika melakukan aksi Kamisan bersama para keluarga korban lain yang mengatasnamakan Jaringan Solidaritas Korban Untuk Kemanusiaan (JSKK), namun Sumarsih akhirnya bisa menyerahkannya langsung ke tangan Jokowi di Istana Negara bersama 20 perwakilan dari korban enam peristiwa pelanggaran HAM berat.
Beberapa perwakilan keluarga korban yang datang bersama Sumarsih antara lain istri dari aktivis HAM Munir Said Talib dan yang mendampingi adalah Sandyawan dari Jaringan Relawan Kemanusian (JRK).
Sementara selain Jokowi yang menerima mereka dari pihak Istana antara lain Kepala Staf Kepresidenan Jenderal Purnawirawan TNI Moeldoko, Juru Bicara Presiden Johan Budi, dan Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki.
Dokumen yang diserahkan oleh Sumarsih antara lain sebuah surat bernomor 524/JSKK/I/2017 berisi catatan tentang Penyelesaian Pelanggaran HAM berat, dua halaman bolak-balik catatan berjudul "Kasus Trisakti, Semanggi I Dan Semanggi II Perlu Diselesaikan Melalui Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc", draft pengakuan pelanggaran Hak Asasi Manusia, serta ratusan lembar berisi hasil investigasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) terkait peristiwa kerusuhan 13 sampai 15 Mei 1998 dan Tragedi Trisakti-Semanggi I dan II tersebut.
Pada intinya Maria bersama JSKK meminta Jokowi agar langsung memerintahkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo untuk melakukan penyelidikan terkait kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan penyelidikan oleh Komnas HAM sehingga bisa dilaporkan ke DPR dan DPR bisa memberikan rekomendasi ke Jokowi untuk mengadakan Pengadilan HAM Ad Hoc lewat Keputusan Presiden.
Namun sayang, lagi-lagi Sumarsih harus kecewa karena pada saat itu jawaban Jokowi tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Jokowi mengatakan kepadanya bahwa ia akan memerintahkan Jaksa Agung untuk berkoordinasi dengan Menkopolhukam Jenderal Purnawirawan TNI Wiranto.
"Respon Pak Presiden setelah kami bicara adalah, akan menugasi Jaksa Agung untuk berkoordinasi dengan Menkopolhukam dan Komnas HAM. Untuk mengetahui progres pertemuan Presiden dengan korban itu bisa dikejar ke Pak Moeldoko," ungkap Sumarsih lesu.
Menurutnya keputusan Presiden tersebut tidak akan mengubah banyak hal mengingat dalam penutup dokumen yang ia serahkan kepada Jokowi nama Wiranto yang pada saat tragedi Mei 1998 menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Kemanan dan Panglima ABRI (Menhankam Pangab) dan bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut turut dicantumkan.
Bahkan menurutnya sejak pengangkatan Wiranto sebagai Menkopolhukam di dalam kabinet Jokowi pada awal pemerintahnya sudah menunjukan bahwa Jokowi tidak berani untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
"Kalau menurut saya pengangkatan yang tadi saya sebit Menhankam Pangab tahun 1998 sekarang diangkat jadi Menkopolhukam ini jawaban dari program Pak Jokowi yang ditulis dalam visi misi dan program aksi Jokowi-JK yang ditulis dalam Nawacita. Jawabannya adalah Jokowi orang yang tidak berani, walaupin pada hari HAM 15 Desember Presiden mengatakan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diperlukan keberanian untuk mencari terobosan penyelesaian secara Yudisial, non Yudisial, dan rekonsilisai," ungkap Sumarsih.
Sumarsih pun sadar bahwa langkah untuk untuk akhirnya datang ke Istana setelah sedikitnya mengirimkan tiga buah surat ke Sekretariat Negara sejak awal pemerinrahan Jokowi tahun 2015 bisa dipolitisasi mengingat Indonesia tengah masuk ke tahun politik.
Ia pun mengatakan bahwa kemungkinan itu juga sudah jadi bahan pembicaraan di kalangan aktivis.
Bahkan menurutnya politisasi terhadap tragedi yang menimpa anakanya dan keluarga korban pelanggaran HAM berat lainnya sudah dipolitisasi oleh aparat sejak awal peristiwa itu terjadi.
Meski begitu ia tetap datang karena memang hanya Presiden yang bisa menyelenggarakan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui Keputusan Presidennya.
"Itu sejak dari periatiwa terjadi. Apalagi yang langkah-langkah selanjutnya itu untuk dipolitisasi oleh aparat itu sudah iya. Kami sudah sadar sekali. Bagaimana hanya janji-janji saja. Pak Jokowi sebagai Presiden saja waktu kampanye di visi misi dan program aksi Jokowi JK itu kan sudah ada butir F.f-nya bunyinya kami berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi beban politik bangsa bla bla bla. Itu kampanyenya begitu," kata Sumarsih.
Di sela-sela perbincangan suami Sumarsih, Arief Priyadi yang merupakan peneliti yang bekerja di Centre of Startegic and Internasioal Studies (CSIS) itu kemudian berjualan ke ruang lain di belakang ruang tamu.
Tidak lama Arief yang sudah memasuki usia senja itu kemudian membawa sebuah poster usang yang tergulung berwarna dominan merah dan hitam. Pada poster berukuran sekitar 27 x 42 cm itu terpampang tulisan berwarna merah "Mereka Bertanggungjawab".
Di atas tulisan tersebut terlihat delapan foto dan delapan nama di bagian paling atasnya. Nama-nama tersebut antara lain Dibyo Widodo, Wiranto, Djaja Suparman, Roesmanhadi, Hamami Nata, Sjafrie Sjamsoeddin, Nugroho Djajoesman, dan Hendardji.
Arief mengatakan bahwa selama ini pengadilan HAM Ad Hoc untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sulit dibentuk oleh pemerintah karena memungkinkan untuk mengadili tidak hanya pelaku di lapangan melainkan juga komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya di lapangan.
"Karena sangat memungkinkan orang-orang yang akan diadili itu pelaku-pelaku di lapangan, tapi harus ada tanggung jawab dari komandan di atasnya," kata Arief.
Sementara di sisi lain menururnya Wiranto sebagai Menhamkam Pangab pada tahun 1998 yang kini menjadi Menkopolhukam selalu menghindar dengan mengatakan bahwa dia tidak punya tanggung jawab pada peristiwa itu.
"Tapi sementara ini seperti Wiranto kan selalu menghindar diri bahwa dia tidak punya tanggung jawab terhadap persitiwa itu. Itu adalah tanggung jawab para komandan yang waktu itu ada di lapangan," ungkap Arief.