Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Nurcholis Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) berencana kembali mengajukan gugatan uji materi Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat Presidential Threshold.
Dimana dalam peraturan tersebut mengatur ketentuan bahwa untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik atau gabungan partai politik paling tidak harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
"ACTA akan segera kembali mendaftarkan uji materiil ketentuan presidential treshold ke Mahkamah Konstitusi," ujar Ketua Dewan Pembina ACTA, Habiburokhman, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (18/6/2018).
ACTA menilai Pasal 222 UU Pemilu tersebut bertentangan dengan Pasal 6 UUD 1945 yang mengatur syarat menjadi calon presiden dan Pasal 6A ayat (5) yang mengatur tata cara pemilihan presiden.
"Pasal 6 UUD 1945 sama sekali tidak mensyaratkan adanya dukungan 20% suara partai politik di parlemen atau 25% suara sah nasional," ujarnya.
Walaupun uji materiil terhadap presidential threshold ini pernah ditolak oleh MK, ACTA optimistis MK akan menerima permohonan yang diajukan pihaknya.
"Kami yakin ada situasi konstitusional baru yang perlu menjadi pertimbangan MK yang membuat perkara ini layak diperiksa kembali dan tidak nebis in idem," kata Habiburokhman.
Untuk merealisasikan hal itu Habiburokhman mengatakan, pihaknya berencananya mengajukan permohonan uji materi ini ke MK pada Kamis, 21 Juni 2018.
"Ya kalo MK sudah buka setalah libur lebaran kami langsung ajukan, hari Kamis esok kalu tidak salah," ujar Habiburokhman.
Ia juga mengungkapkan permohonan uji materi ini atas banyaknya aspirasi masyarakat yang ingin mendorong pergantian presiden pada 2019.
"Jadi ini semangat dari uji materi ini adalah semangat ganti presiden, jadi mari teman-teman yang punya aspirasi ingin mengganti presiden mari bersatu bersama kami, kita kembalikan hak konstitusional kita agar bisa banyak capres nanti muncul di pemilu yang akan datang," ujar Habiburokhman.