Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Stephanus Eka mengakui sejak awal telah menerima pengungkapan Sjamsul Nursalim selaku pemilik PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) perihal adanya penjaminan DCD terhadap utang petambak kepada BDNI.
Dia juga mengaku baru mengetahui adanya pengungkapan Sjamsul Nursalim setelah dikonfrontir di persidangan.
Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan perkara BLBI di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/7/2018) kemarin.
Dalam perkara ini, masalah utang lah yang dianggap sebagai kerugian negara yang didakwakan kepada mantan Ketua BPPN, Syafruddin.
Dalam kesaksiannya setelah diklarifikasi tim penasihat hukum terdakwa (Syafruddin), Stephanus Eka juga mengakui utang petambak Rp 4,8 triliun yang dianggap sebagai kerugian negara itu adalah bagian dari program inti-plasma (PIR-Petambak Inti Rakyat).
"Kalau ada dokumen tertulis seperti itu, memang benar begitu adanya," ucap Stephanus.
Baca: Menko Luhut: Pencarian Korban KM Sinar Bangun Sudah Maksimal, Tak Mungkin Dilakukan Pengangkatan
Lebih lanjut mantan pejabat BPPN lainnya yang juga menjadi saksi di persidangan, Dira Kurniawan menjelaskan selama ini para petambak tidak pernah menerima uang dari BDNI.
"Temuan di lapangan petambak mengaku tidak menerima uang dari bank," kata Dira Kurniawan.
Dira Kurniawan juga mengakui penyaluran uang dari BDNI dalam program PIR tersebut tidak langsung disalurkan kepada para petambak.
Melainkan kepada perusahaan inti (DCD) yang membangun rumah dan lahan tambak untuk para petambak tersebut sesuai dengan perjanjian kerja sama antara BDNI dengan DCD.
Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Baca: Jokowi pun Bingung saat Abdul Majid Menyebut Nama Ikan Merah dan Ikan Sulung
Syafruddin dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain yang merugikan keuangan negara hingga Rp 4,5 triliun.
Dia diduga terlibat dalam kasus penerbitan SKL BLBI bersama Dorojatun Kuntjoro Jakti (mantan Ketua Komite Kenijakan Sektor Keuangan) kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim selaku pemegang sahan BDNI pada 2004.