News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus BLBI

Kwik Kian Gie: Obligor yang Kooperatif Belum Tentu Menyelesaikan Masalah

Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Menteri Keuangan Kwik Kian Gie menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (11/12/2017). Kwik Kian Gie diperiksa penyidik KPK sebagai saksi dengan tersangka mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung terkait penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanyakan soal kategori obligor koperatif pada Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Kwik Kian Gie‎.

Kebetulan dalam sidang hari ini, Kamis (7/6/2018) Kwik Kian Gie menjadi saksi di sidang lanjutan ‎kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk terdakwa mantan Ketua BPPN, Syafruddin.

"‎Di berita acara no 1 yang tadi di rumah ibu Megawati, ada keterangan SKL itu diberikan kepada obligor yang kooperatif, bisa dijelaskan kategori obligor kooperatif itu seperti apa?," tanya Jaksa KPK pada Kwik Kian Gie.

Kwik Kian Gie menjelaskan saat itu yang dimaksud obligor koperatif ialah obligor yang apabila dipanggil akan datang serta mau diajak bicara. Tapi menurut Kwik Kian Gie, obligor yang disebut koperatif belum‎ tentu menyelesaikan masalah.

"‎Tapi untuk saya, yang dinamakan kooperatif belum tentu menyelesaikan masalah karena pengusaha itu yang bersangkutan obligor itu bisa pura-pura kooperatif sifatnya kooperatif tetapi de facto tidak pernah membayar, menurut saya ukurannya ada uang adalah ada uang tunai yang masuk ke kas negara atau tidak," katanya.

Diketahui dalam perkara ini, terdakwa Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.

Syafruddin dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain yang merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun. Dia diduga terlibat dalam kasus penerbitan SKL BLBI bersama Dorojatun Kuntjoro Jakti (mantan Ketua Komite Kenijakan Sektor Keuangan) kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim selaku pemegang sahan BDNI pada 2004.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini