TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersuara soal pernyataan Ahmad Yani, kuasa hukum mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Tumenggung yang menuding KPK telah bermain opini.
Ahmad Yani merasa KPK beropini agar kliennya dinyatakan bersalah dalam dugaan kasus pemberian Surat keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Merespon itu, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menyarakan baiknya kuasa hukum terdakwa fokus pada pembuktian di persidangan dari pada menuding KPK membentuk opini.
"Tentang terbukti atau tidak nanti hakim yang akan menentukan. KPK mengajak agar kita sama-sama menghormati proses hukum yang berjalan. Persidangan yang terbuka bisa disimak oleh publik dan KPK tentu akan memperjuangkan agar dakwaan terbukti di pengadilan. Karena hal tersebut memang menjadi tugas dari JPU di sidang," ungkap Febri, Selasa (10/7/2018) di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Febri melanjutkan ā€ˇmasyarakat juga memiliki hak mengetahui perkembangan persidangan dan penanganan kasus ini. Karena kasus BLBI adalah kasus dengan kerugian negara sangat besar.
"Publik pun sering bertanya tentang perkembangan penanganan kasus ini. Sekali lagi, kami mengajak masyarakat agar sama-sama mengawal kasus ini," ungkap Febri.
Dalam rangkaian persidangan ini, kata Febri, KPK meyakini satu persatu dakwaan KPK terbukti, khususnya terkait perbuatan SAT.
"Wajar jika KPK berpendirian demikian. Bahwa PH memiliki pendapat berbeda, silahkan saja," tegas Febri.
Febri menambahkan sampai saat ini sekitar 19 saksi telah diperiksa dalam kasus ini di persidangan. KPK akan tetap serius dalam menangani kasus ini, karena itu kehati-hatian menjadi hal krusial.
Diketahui, Ahmad Yani menyoroti pernyataan kubu KPK yang menyimpulkan dakwaan sudah terbukti padahal saat ini proses persidangan baru dimulai dengan agenda mendengarkan keterangan saksi fakta.
"Juru Bicara KPK dan komisioner sudah menyimpulkan dakwaan mereka terbukti. Mereka hadir di persidangan juga tidak, bagaimana bisa menyimpulkan. Itu namanya mereka sudah beropini, penegak hukum tidak boleh bermain opini harus berdasarkan fakta," ungkap Ahmad Yani, Senin (9/7/2018) kemarin di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Masih menurut Ahmad Yani, pernyataan juru bicara dan komisioner KPK justru berlawanan dengan fakta baru di persidangan. Dimana dalam persidangan, tidak ada satu bukti pun yang menguatkan dakwaan jaksa.
Salah satu fakta baru yang muncul di sidang hari ini, diungkap Ahmad Yani ialah kliennya tidak terlibat dengan penanganan penyelesaian BLBI. Pemberian SKL yang diberikannya adalah semana-mata mengikuti kebijakan yang telah dibuat oleh pejabat sebelumnya.
Ahmad Yani juga menyoroti soal penyelesaian BLBI melalui Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) di pemerintahan Presiden Habibie pada 1998-1999 yang diteruskan pada pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gusdur dimana peleksanaanya oleh BPPN saat itu diketuai oleh Glenn Yusuf yang memberikan release and discharge (R&D) pada mereka yang telah memenuhi kewajibannya sesuai MSAA.
"Klien saya menjadi Ketua BPPN April 2002. Maka dia bukanlah pejabat yant berwenang saat itu melainkan Glenn Yusuf. Kalau masalah ini yang dijadikan pangkal tolak dari peradilan perkara tidak tepat atau salah alamat. Karena penyelesaian melalui MSAA dan penegasannya pada R&D menyatakan jika ada masalah dalam penyelesaian BLBI harus diputuskan melalui pengadilan perdata, juga tidak melakukan tuntutan hukum apapun," katanya.