News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kisah Kopaska Menyiapkan Pasukan Torpedo Manusia Seperti Pasukan Jepang saat Operasi Trikora

Editor: Sugiyarto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Torpedo

TRIBUNNEWS.COM - Dalam Operasi Trikora, Pasukan Katak (Paska) TNI Angkatan Laut (AL), sekarang dikenal sebagai Komando Pasukan Katak atau Kopaska, yang dibentuk pada 31 Maret 1962 dan dikomandani oleh Letkol OP Koesno, memiliki tugas khusus.

Secara spesifik sesuai dengan kemampuannya tugas Kopaska adalah menyusup ke wilayah lawan untuk melancarkan serangan sabotase atau menyingkirkan perintang bagi pendaratan pasukan amfibi.

Ketika Operasi Trikora digelar pasukan Kopaska berpangkalan di Teluk Peleng, Sulawesi, dalam kondisi siap diperintah.

Berada di Teluk Peleng sambil menunggu perkembangan sesungguhnya merupakan kegiatan yang cukup membosankan bagi anggota Pasukan Katak meskipun sejumlah latihan tempur tetap dilakukan.

Suatu hari pasukan Kopaska yang dipimpin oleh Mayor Urip Santosa mendapat kesibukan baru.

Mereka menjadi sibuk setelah kurang lebih dua peleton sukarelawan sipil beserta lima human torpedo (torpedo manusia) untuk misi bunuh diri turut disertakan.

Selama Perang Dunia II, torpedo manusia yang oleh AL Jepang disebut Kaiten sebenarnya pernah dioperasikan dan bagi pelaku misi torpedo bunuh diri yang rata-rata berusia remaja mendapat penghargaan khusus dan hadiah uang.

Sebelum dioperasikan dalam progam latihan Kaiten telah menyebabkan korban jiwa para pilotnya sebanyak 15 orang.

Dalam operasi tempurnya, Kaiten bisa diluncurkan dari kapal selam atau kapal penjelajah ringan.

Mayor Urip merasa heran dengan adanya lima torpedo manusia itu karena belum pernah mendapat briefing, khususnya peta operasi dan pendaratan sasaran yang akan dituju.

Berkaitan dengan torpedo manusia itu, Mayor Urip hanya pernah mendengar tentang adanya Proyek Y, yakni torpedo biasa yang diisi dengan 100 kilogram TNT.

Untuk pemicu ledakan torpedo dilengkapi mekanisme detonasi yang secara otomatis akan meledak waktu bertabrakan dengan dinding kapal.

Dari mekanisme kerjanya, ujung torpedo diangkut menggunakan sebuah speedboat kecil yang digerakan motor tempel 100TK.

Speedboat itu sendiri dikemudikan oleh seorang sukarelawan yang akan mengarahkan dan membenturkan ujung torpedo kepada kapal musuh.

Sesaat sebelum speedboat beserta torpedo membentur kapal musuh, pengemudi akan melompat menggunakan kursi pelontar.

Fungsi kerja kursi lontar pada torpedo mirip kursi lontar jet tempur.

Mayor Urip yang makin penasaran karena belum pernah dilibatkan dalam operasi torpedo manusia dan juga tak pernah diberi petunjuk pemakaiannya atau cara operasinya jelas tak bisa menolak perintah karena sedang berada di front terdepan.

Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan diam-diam Mayor Urip melakukan uji coba  pada sukarelawan dan speedboatnya.

Ternyata mesin tempel yang terpasang bukan 100 TK melainkan 50 TK.

Para sukarelawan juga belum melakukannya di lautan terbuka.

Apalagi kursi lontarnya yang katanya terpasang ternyata tidak ada sehingga pelaku harus melompat sendiri sebelum torpedo meledak.

Tanpa kursi lontar pengemudi human torpedo dipastikan tewas akibat kedakan TNT seberat 100 kilogram.

Namun yang membuat Mayor Urip geleng-geleng kepala adalah mekanisme detonasi yang tidak berfungsi sama sekali.

Tidak berfungsinya torpedo itu terbukti ketika dilaksanakan tes dengan menerjangkan perahu tempel bermuatan torpedo TNT 100 kilogram tanpa manusia dalam kecepatan 25 knot ke salah satu tebing karang yang lokasinya berada di teluk yang sunyi.

Ternyata torpedo yang diterjangkan sama sekali tidak meledak.

Setelah meledakkan TNT 100 kilogram yang berada di ujung torpedo dengan keterampilan khusus dan perangkat demolisi, Mayor Urip beserta 10 anak buahnya yang turut dalam uji peledakan torpedo pun kembali ke Daerah Kumpul I.

Ketika Mayor Urip melaporkan hasil uji cobanya ke Panglima ATA-17, Komodor Sudomo ternyata tidak keluar komentar apa pun.

Yang pasti Mayor Urip lega, karena jika Operasi Jayawijaya jadi digelar dan torpedo-torpedo manusia itu digunakan, bisa dipastikan tidak ada satu pun sukarelawan yang selamat.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini