News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

HUT Kemerdekaan RI

Drama Menjelang 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan RI Nyaris Gagal

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bung Karno dan Bung Hatta saat membacakan teks proklamasi.

TRIBUNNEWS.COM– Ternyata Republik Indonesia hampir gagal diproklamasikan pada waktunya. Apa penyebabnya?

Pertama, seminggu sebe­lumnya, pesawat yang ditumpangi dwitunggal Soekarno-Hatta pada kunjungan ke Dalat, Vietnam, dua kali mendarat darurat dan diserang pesawat Sekutu.

Kedua, Soekarno tidak mau menyatakan kemerdekaan karena enggan melangkahi peran Panitia Persiapan Kemerdekaan. Pa­dahal waktu sangat sempit. Jepang menyerah, namun Sekutu belum mengambil alih kekuasaan atas Indonesia.

Inilah catatan wartawan senior Julius Pour dalam bukunya Djakarta 1945, Awal Revolusi Kemerdekaan, mengenai drama di sekitar 17 Agustus 1945, sebagian sengaja ditulis dengan ejaan lama untuk menunjukkan keotentikannya.

Cukilan bukunya dibuat oleh Mayong Suryo Laksono, seperti yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2014 hasil cukilan dari.

Gempuran pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur berhasil menekan pasukan Jepang di Asia Tenggara. Ketika mereka makin mendekati Tokyo, situasi pemerintahan dalam negeri Jepang dibuat makin buruk.

Baca: Proses Panjang Membuat Duplikat Bendera Pusaka, Diwarnai Hujan Tangis

Pada 7 Juli 1944, Kabinet Jepang rontok. Jen­deral Kuniaki Koisi dilantik men­jadi perdana menteri mengganti­kan Jenderal Hideki Tojo. Penguasa baru segera memperbarui janjinya bahwa Indonesia akan segera diberi kemerdekaan.

Dalam situasi transisional itu Jepang masih membagi wilayah Indonesia dalam tiga komando: Djawa dan Madoera di bawah Angkatan Darat XVI, Soematera di bawah kendali Angkatan Darat XXV, dan wilayah lainnya di bawah kendali Angkatan Laut bermarkas di Makassar.

Kedua angkatan tersebut di bawah kendali Marsekal Pangeran Terauchi, Panglima Besar Wilayah Selatan yang berkedudukan di Dalat, Indochina (sekarang Vietnam).

Maka pada awal Mei 1945, terbentuklah Dokuritsu Junbi Cosakai atau PPOPKI (Panitia Penjelidik Oeroesan-oeroesan Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang didiri­kan melalui Maklumat Gunseikan No. 23 tanggal 29 April 1945.

Ketuanya adalah dr. K.R.T. Radji­man Wediodiningrat yang telah purna tugas sebagai dokter pribadi Soesoehoenan Pakoe Boewono X, dibantu dua orang wakil, yaitu Yasuo Ichibangase (orang Jepang sekaligus anggota istimewa), dan Raden Pandji Soeroso yang merangkap sekretaris.

Di luar tiga orang itu, PPOPKI memiliki 60 anggota. Sebanyak 54 anggota adalah orang Indonesia dari Djawa, Soematera, Soelawesi, dan Ma­loekoe; empat orang warga ketu­runan Cina, satu orang keturunan Arab, dan satu keturunan Eropa.

Juga ada tujuh orang Jepang yang merupakan anggota luar biasa, boleh mengikuti sidang tapi tidak memiliki hak suara.

Sidang berlangsung dalam dua masa persidangan. Yang pertama 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Padahal pada 8 Mei 1945, Jerman menyerah kepada Sekutu, sehingga sejak saat itu Jepang harus berperang sendiri.

Sidang kedua berlangsung pada 11-17 Juli 1945. Perdebatan dalam sidang-sidang tersebut berlangsung amat sengit dan alot. Soal batasan wilayah, soal bentuk negara, soal identitas bangsa dengan hak-hak-nya, dan pelbagai masalah lain.

Tapi beberapa poin penting berhasil disepakati. Pada 22 Juni misalnya, dirumuskan Rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Kemudian pada sidang 16 Juli disusun Rancangan Oendang-oendang Indonesia Merdeka.

Baca: Besok Bertugas, Ini Fakta-Fakta Paskibraka, Ada Hukumannya Jika Bendera yang Dikibarkan Terbalik

Masa tugas PPOPKI berakhir pada 7 Agustus 1945. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Dokoritsu Junbi Inkai, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang diketuai Soekarno dengan wakilnya Hatta.

Beranggota 21 orang termasuk ketua dan wakil ketua, yaitu dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat, Ki Bagoes Hadi-kusumo, Otto Iskandar Dinata, B.P.H. Poeroebojo, G.P.H. Soerjo­hamidjojo, Soetardjo Kartohadiku­sumo, Prof. Dr. Mr. Soepomo, R.H. Abdoel Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, dr. Mohammad Amir, Mr. Abdoel Abbas, dr. Ratulangie, Andi Pangerang, Mr. Latuharhary, Mr. I Goesti Ketoet Poedja, A.H. Hamidan, Raden Pandji Soeroso, K.H.A. Wahid Hasjim, dan Mr. Mohammad Hasan.

Surat kabar Asia Raja edisi 7 Agustus 1945 menulis, “Soekarno berkomentar positif soal PPKI. Kalau PPOPKI merupakan bentukan pemerintahan tentara pendudukan (termasuk menseleksi calon anggotanya oleh penguasa militer, Red.), PPKI jelas merupakan panitia bangsa Indonesia karena tidak seorang Jepang pun menjadi anggota.”

Panitia bekerja cepat dan efektif. Tapi keraguan muncul karena dalam percaturan regional, sang pemberi kemerdekaan, Jepang, makin terdesak. Walau tentara Jepang masih ada dan secara ad­ministratif masih hadir, udara Asia Tenggara telah dipenuhi pesawat tempur Sekutu.

Tapi keraguan itu sirna ketika Soekarno – Hatta (juga dr. Radjiman dan dokter pribadi Soekarno, dr. Soeharto) diundang Marsekal Pangeran Hisaichi Terauchi, Panglima Besar Jepang Wilayah Selatan, di Dalat, dan mendapat jaminan untuk mengawal transisi menuju kemerdekaan.

Penerbangan rahasia

Pukul 05.00, sebuah pesawat udara dengan dua baling-baling tinggal landas dari bandar udara Kemajoran, Djakarta. Para pe­numpangnya adalah Soekarno, Hatta, dr. Radjiman, dr. Soeharto, Letkol Nomura dari kantor Gunseikanbu Djakarta, Kolonel Sun­kichito Miyoshi sebagai penerje­mah, dan beberapa orang Jepang.

Tujuannya, meski hanya sedikit orang yang tahu, adalah Dalat, kota wisata di Vietnam yang dijadikan markas tentara Jepang Wilayah Selatan. Penerbangan itu bersifat rahasia mengingat Sekutu mulai mendesak dan banyak orang me­musuhi Soekarno.

Tapi tokoh-tokoh nasional itu sesungguhnya juga tidak tahu apa yang dikehendaki Marsekal Terauchi dengan mengundang mereka.

Siang hari sampai di Singapura, yang waktu itu masih bernama Syonanto, dan disambut Mayor Jenderal Shimura, perwira staf Markas Besar Militer Wilayah Selatan, untuk singgah sebentar. Menurut catatan Hatta, “Selepas tengah hari, rombongan kami lang­sung melanjutkan penerbangan menuju Saigon.”

Sekitar pukul 19.00 waktu se­tempat, Soekarno merasa mereka sudah hampir sampai. Namun pemandangan ke bawah tertutup awan dan kabut tebal menyeli­muti wilayah pendaratan. Apalagi suasana gelap. Pilot tak berhasil menemukan landasan dan me­milih sebuah padang rumput untuk pendaratan darurat.

Terjadilah guncangan keras yang tak hanya membuat semua barang jatuh ber­serakan, tapi tubuh dan kepala para penumpang juga terbentur-bentur. Sekelompok prajurit bersenjata menyambut mereka dan menjelas­kan posisi tempat itu: 100 km dari Saigon.

Desa itu gelap gulita karena pen­duduk sengaja mematikan lampu mengingat wilayah itu masuk dalam kancah perang. Cukup lama mereka menunggu di situ sampai beberapa mobil datang menjemput untuk membawa mereka ke sebuah gedung besar bekas kantor Guber­nur Jenderal Prancis di pinggiran Kota Saigon.

Mereka kecapekan. “Ternyata waktu menunjukkan pk 02.00 dini hari. Artinya, kita sudah masuk tanggal 11 Agustus,” kenang dr. Soeharto.

Pada pukul 10.00 mereka diantar menuju Lapangan Udara Saigon dan terbang sejauh 350 km ke arah timur laut menuju Dalat. Di kota peristirahatan dengan banyak bangunan elok itu mereka meng-inap semalam.

Kesokan harinya, Marsekal Terauchi menemui mere­ka di gedung berarsitektur Eropa Klasik bekas rumah peristirahatan Gubernur Jenderal Prancis yang terletak di puncak bukit.

“Sekarang ini, terserah kepada Tuan-tuan. Pemerintah Dai Nip­pon menyerahkan sepenuhnya proses kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Semuanya kini di tangan tuan-tuan,” kata perwira tinggi ber­tubuh jangkung itu dari kursi roda. Ia mulai diserang stroke.

“Apakah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dapat melaksanakan tugasnya sekitar tanggal 24 Agustus?” tanya Soekarno.

“Itu semua terserah kepada Tuan-tuan,” jawab Terauchi.

Di antara kegembiraan para tokoh Indonesia, terutama Hatta yang 12 Agustus itu berulang tahun, masih terselip rasa heran, kenapa Jepang menyerahkan begitu saja kemerdekaan Indonesia.

Dalam persinggahan di Saigon sore harinya, Letkol Nomura menjelaskan situasi yang sudah makin mendesak Jepang. Tentara Rusia menyerang Manchuria, sementara dari timur pasukan Sekutu juga mendesak.

Tapi Nomura tidak menjelaskan soal Kota Hiroshima dan Nagasaki yang hancur lebur oleh bom atom AS. Soekarno dan Hatta menduga, faktor Hiroshima dan Nagasaki adalah pendorong utama Jepang ingin segera mengakhiri kekuasaannya di Indonesia.

Dengan tegas Soekarno menyampaikan kepada Hatta, “Hukum internasional hanya menentukan empat syarat untuk bisa diakui sebagai negara merdeka: pertama, adanya tanah air; kedua, adanya rakyat; ketiga, adanya sebuah pemerintahan. Modal kita sudah lengkap dan kita bisa saja mendi­rikan pemerintahan. Kelengkapan keempat, bangsa lain pasti bersedia memberikan pengakuan terhadap kemerdakaan tersebut, bukankah begitu?”

“Benar,” jawab Hatta. “… dan Jepang telah bersedia melakukan­nya.”

Pagi hari 13 Agustus, rombong-an meninggalkan Saigon menuju Syonanto (Singapura). Tapi mereka tidak lagi menggunakan pesawat penumpang, melainkan pesawat tempur jenis pembom, fighter bomber, bermesin ganda dengan kabin berlubang bekas tembakan.

Tidak ada pejabat Jepang yang menyertai perjalanan pulang itu, hanya penerbang dan navigator. Malah di kabin tidak tersedia kursi, melainkan ruang sempit dengan sebuah bangku panjang, persis di belakang kokpit.

Tiba-tiba pesawat menukik tajam dan mendarat darurat di sebuah landasan di tepi hutan di Semenanjung Malaya, menghindari sergapan pesawat Sekutu. Mereka singgah beberapa jam di hutan, dan terbang lagi ketika keadaan sudah aman.

Mereka tiba di Singapura pada senja hari. Malam harinya mereka dijamu Panglima Militer setempat, Jenderal Itagaki, dan esok harinya meneruskan pener­bangan kembali ke Jakarta.

Bung Karno merasa tidak berhak

Sampai di Jakarta mereka segera menuju Istana Gunseikan. Para pembesar Jepang memberi ucapan selamat dan menjamu mereka. Pertemuan Dalat telah mengubah secara dramatis hubungan Jepang-Indonesia.

Pada saat Rusia menya­takan perang dengan menyerbu Manchuria, sehingga Jepang harus menghadapi musuh baru, pada waktu yang hampir sama jatuh bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki.

Juga adanya Deklarasi Potsdam yang mengatur perlucutan senjata dan penarikan pasukan Jepang dari luar negaranya, menjatuhkan hukuman bagi mereka yang bersalah, tapi memberi perlindungan keamanan bagi Tenno Heika dan kekuarganya.

Pukul 14.00 Hatta sampai di ru­mah. Rupanya Sutan Sjahrir sudah menunggu, menginformasikan bahwa Jepang minta damai pada Sekutu. Hatta terperanjat, tidak menyangka kekalahan Jepang terjadi lebih cepat dari perkiraan­nya.

Tapi ada hal lain yang lebih penting disampaikan Sjahrir, yakni pernyataan kemerdekaan harus dilakukan segera – dan tidak oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

“Jika oleh PPKI, maka Indonesia Merdeka yang lahir seperti itu pasti akan dituduh se­bagai buatan Jepang,” kata Sjahrir. “Sebaiknya, Bung Karno, sebagai pemimpin rakyat dan atas nama rakyat harus menyatakan Indo­nesia telah merdeka lewat corong radio.”

Hatta mengerti. Tapi ia tidak yak­in Soekarno, meski sebagai Ketua PPKI, bersedia melakukannya, ka­rena akan dianggap dia melangkahi atau merampas hak PPKI.

Dugaan Hatta benar. Saat ia dan Sjahrir menemui Soekarno, jawabnya, “Aku tidak berhak bertindak sendirian. Hak tersebut merupakan hak Panitia Persiapan Kemerdekaan yang aku pimpin. Alangkah janggalnya di mata orang setelah kesempatan terbuka untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka, aku malah bertindak sendiri dan sengaja melangkahi pekerjaan Panitia Persiapan Ke­merdekaan. Aku tidak mau.”

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini