TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam penyelesaian kewajiban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia oleh perbankan, sesungguhnya pemerintah telah menyatakan siap rugi.
Menurut ahli hukum perdata dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Nindyo Pramono, hal Itu terlihat dalam PP 27 Tahun 1998 yang memberikan kewenangan kepada BPPN untuk menjual asset yang berasal dari obligor BLBI di bawah nilai buku.
Baca: Pemeran Film Fast and Furious Puji Aksi Atraksi Jokowi di Pembukaan Asian Games
Baca: PDIP Yakin Relawan Pendukung Jokowi Masih Solid Sejak 2014
“Dengan memberikan kewenangan itu artinya pemerintah sudah menyatakan siap rugi,” katanya dalam sidang lanjutan kasus kerugian negara dalam penerbitan SKL BLBI untuk Bank BDNI dengan tersangka mantan Ketua BPPN Syafrudin Arsyad Temenggung, pekan lalu.
Menurut Nindyo, saat ini wewenang yang sama juga diberikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dimana pada dalam keadaan krisis dan sistemik lembaga ini diberi wewenang menjual aset bank yang dikuasai di bawah nilai buku.
Saksi menjelaskan, wewenang itu diberikan pada saat krisis, dimana pemerintah sangat membutuhkan dana atau dalam keadaan sangat mendesak.
Jika ingin untung, penjualan aset itu harus menunggu kondisi perekonomian pulih kembali. “Kalau dalam keadaan krisis siapa yang mau beli aset di atas nilai buku, atau sama dengan nilai buku,” katanya.
Sebelumnya dalam sidang yang sama, saksi a de charge lainnya mantan Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo menggambarkan, situasi pada saat krisis ekonomi berlangsung kondisi keuangan negara sangat berat sehingga pada satu saat pemerintah terpaksa meminjam uang ke Bank Indonesia untuk membayar gaji.
“Kondisi saat itu sangat berat sehingga pernah pemerintah terpaksa meminjam dana untuk bayar gaji ke BI,” kata Bambang Kesowo.
Menurut Bambang, penyaluran BLBI dan pendirian BPPN adalah bagian dari kebijakan pemerintah yang harus dilakukan karena berbagai instrumen yang ada tidak berdaya menanggulang krisis.
“Ini merupakan instrumen pamungkas agar perekonomian Indonesia tidak terpuruk lebih dalam lagi,” katanya.
Menjawab pertanyaan penasehat hukum terdakwa yang dipimpin oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra, apakah MSAA dan R&D ittu mengikat, Nidyo mengatakan memang mengikat sehingga tidak bisa dibatalkan.
Pertanyaan ini muncul karena di dalam dakwaan jaksa disebutkan bahwa seharusnya SAT tidak memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Syamsul Nursalim karena obligor ini dinilai belum memenuhi semua kewajibannya.
Menurut tuntutan jaksa, berdasarkan penyelidikan KPK, Syamsul telah melakukan misrepresentasi (misrep) senilai Rp 4,5 triliun dalam laporan penyerahan asetnya karena salah satu dari aset tersebut yaitu kredit BDNI kepada petani petambak udang ternyata macet.
Berdasarkan hukum perdata, penilaian adanya misrep tersebut seharusnya ditetapkan oleh pengadilan, tidak bisa secara sepihak. “Yang berwenang memutuskan adanya misrep itu adalah pengadilan,” katanya.