TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi keadilan untuk Munir mempertanyakan komitmen pemerintah dalam pengungkapan kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib.
Terlebih, terpidana pembunuhan Munir, Budi Hariyanto, dibebaskan setelah divonis 14 tahun penjara.
Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, Putri Kanesia menilai, bebasnya Pollycarpus adalah peristiwa yang menyakitkan bagi para pejuang HAM di Indonesia.
"Tapi faktanya pelaku utamanya dan dugaan melibatkan fasilitas negara juga belum diadili. Padahal Presiden beberapa kali menyatakan akan menyelesaikan tapi juga tidak ada kelanjutan," tegas Putri di Kantor KontraS, Kramat II, Jakarta Pusat, Rabu (29/8/2018).
Putri menilai ketidakjelasan pengungkapan dalang pembunuhan Munir menunjukkan negara belum mampu memberikan keadilan bagi keluarga korban.
Putri mendesak pemerintah untuk segera membuka Tim Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TFKMM) yang sebelumnya telah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Namun, telah dinyatakan hilang di era Presiden Jokowi. Menurut Putri, negara wajib menyelesaikan kasus Munir hingga ke aktor-aktor utama dibalik kasus pelanggaran HAM tersebut.
"Kami menilai dengan bebas murninya Pollycarpus selaku aktor lapangan bukan berarti negara telah selesai dalam proses pengungkapan kasus Munir. Negara memiliki kewajiban menuntaskan aktor utamanya," kata Putri.
Seperti diketahui, Pollycarpus, dinyatakan bebas murni dari hukumannya pada hari ini, Rabu (29/8/2018).
Munir meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia menuju Amsterdam pada 7 September 2004 dalam perjalanan untuk menempuh pendidikan S-2 di Utrecht, Belanda.
Dalam penyelidikan, diketahui bahwa Munir meninggal dengan cara yang tidak wajar.
Otopsi yang dilakukan Pemerintah Belanda atas jenazah Munir mendapati racun arsenik dalam kadar mematikan di dalam tubuhnya.
Munir selama ini dikenal tak gentar memperjuangkan HAM.
Dirinya pernah melawan Kodam V Brawijaya ketika memperjuangkan kasus kematian Marsinah, aktivis buruh di Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik dan disiksa dengan brutal hingga tewas.
Munir juga tak gentar menyelidiki kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta pada masa reformasi 1997-1998.
Termasuk kasus penembakan mahasiswa di Trisakti (1998), Semanggi (1998 dan 1999), hingga pelanggaran HAM semasa referendum Timor Timur (1999).
Dalam perjalanan, saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Desember 2004 membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir yang diketuai petinggi kepolisian saat itu, Brigjen (Pol) Marsudi Hanafi dan melibatkan sejumlah masyarakat sipil.