TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi santai beragam bantahan dari Hakim Merry Purba, tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara vonis korupsi lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN 2 dengan terdakwa Tamin Sukardi.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan selama KPK bekerja menyidik suatu kasus, KPK sudah sering menghadapi beragam sangkalan maupun bantahan dari tersangka.
"Kami sering menghadapi penyangkalan baik yang disertai sumpah dengan agama masing-masing atau tidak. Namun banyak juga yang mengakui perbuatannya," ujar Febri, Rabu (5/9/2018).
Febri melanjutkan yang terpenting bagi KPK adalah tetap menangani kasus-kasus korupsi secara hati-hati dengan bukti yang kuat
Jika memang Hakim Merry Purba memiliki informasi soal pelaku lain, kata Febri silahkan disampailan pada penyidik.
Sebelumnya, Hakim Merry Purba sempat menyatakan dirinya tidak terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK. Melainkan yang terjaring Operasi Tangkap Tangan adalah panitera pengganti Pengadilan Negeri Medan, Helpandi.
Tidak hanya itu, Merry Purba juga membantah menerima suap seperti apa yang dituduhkan oleh penyidik KPK. Dia pun tidak paham asal muasal uang suap yang disita KPK dari meja kerjanya.
"Saya tegaskan saya itu tidak OTT. Yang OTT itu adalah panitera. Saya tidak tahu informasi bagaimana jumlah uaang yang katanya ada sama panitera. Kemudian ada lagi katanya diterima atau digeledah barang bukti dari meja saya. Secara jujur saya katakan saya tidak melakukan apapun yang dikaitkan dengan perkara yang saya tangani. Apa yang saya buat keputusan saya sendiri tidak melibatkan orang lain," ungkap Merru Purba.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan empaat tersangka. Mereka yakni Hakim Merry Purba, panitera pengganti PN Medan Helpandi, terdakwa Tamin Sukardi dan orang kepercayaan Tamin Sukardi, Hadi.
Oleh penyidik, Merry dan Helpandi diduga menerima suap dari Tamin dan Hadi untuk mempengaruhi putusan majelis hakim di vonis Tamin.Total uang suap yang diberikan 280 ribu SGD.
Dalam perkara Tamin, Merry merupakan anggota majelis hakim. Sedangkan keduanya, Wahyu Prasetyo, Wakil Ketua PN Medan yang sempat diamankan KPK namun akhirnya dilepaskan dan berstatus saksi.
Di Putusan yang dibacakan Senin (27/8/2018), Merry menyatakan dissenting opinion. Tamin divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 132 miliar.
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 10 tahun pidana penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp 132 miliar.