TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengumuman kenaikan dan mendadak penundaan harga kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium menunjukkan, ada masalah koordinasi dan komunikasi antar-instasi pemerintah dalam pengambilan keputusan.
Hal itu dikritisi Pengamat Politik Emrus Sihombing kepada Tribunnews.com, Jumat (12/10/2018).
Pekan ini di berbagai media memuat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Premium dari Rp 6.550 per liter menjadi menjadi Rp 7.000 per liter, dibatalkan. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, mengemukakan rencana kenaikan harga Premium di Jamali (Jawa, Madura dan Bali) ditunda.
Alasan penundaan yang dimuat di berbagai media sangat sederhana, hanya karena ketidaksiapan Pertamina melaksanakannya.
Ketidaksiapan Pertamina tersebut, menurut Emrus, bisa jadi memunculkan sejumlah pertanyaan lanjutan antara lain, Mengapa perusahaan sebesar Pertamina belum siap?
Bukankah Pertamina sudah dikelolah dengan sangat professional dengan dukungan dana yang sangat besar untuk mempekerjakan sumberdaya manusia yang handal. Sehingga mampu mengantisipasi dan mengelola kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi?
Apalagi, bukankah kenaikan harga Premium menambah pemasukan bagi Pertamina?
"Yang jelas, pengumuman kenaikan harga BBM dan kemudian penundaan, menunjukkan bahwa ada masalah koordinasi dan komunikasi antar instasi pemerintah dalam pengambilan keputusan tersebut khususnya, dan sekaligus menunjukkan bahwa manajemen komunikasi belum dikelola secara professional umumnya. Akibatnya, pengelolaan komunikasi pemerintah berjalan parsial, tanpa model," ujar Emrus.
Oleh karena itu, kata dia, permasalahan ini harus digali dan diurai secara terang benderang di internal sesama instansi pemerintah untuk menemukan solusi dan merumuskan pemodelan proses komunikasi pemerintah.
Ini penting tak lain agar tidak terulang lagi ke depan yang terkait dengan permasalahan koordinasi dan komunikasi antar instasi pemerintah, utamanya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Karena dia tegaskan, koordinasi dan komunikasi yang baik antar instasi pemerintah dalam pengelolaan isu-isu yang menyangkut kepentingan publik mutlak harus dilakukan dalam suatu pemodelan proses komunikasi.
"Bila dibuat dalam suatu pemodelan proses komunikasi, penundaan harga Premium ini misalnya, sejatinya dinakodai oleh Menko Ekuin. Kemudian Menko yang bersangkutan mengkomunikasikan kepada presiden untuk mendapat persetujuan atau pembatalan atau penundaan atau revisi sebelum atau tidak jadi disampaikan ke ruang publik," jelasnya.
Tentu, imbuhnya, jika sudah mendapat keputusan untuk disampaikan ke ruang publik, sejatinya melalui satu pintu komunikasi.
Bila keputusan terkait dengan kerja dan kinerja antar instansi pemerintah, sebaiknya disampaikan lewat Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Jika itu menjadi kebijakan presiden sebagai kepala pemerintahan dan atau kepala negara, sebaiknya disampaikan melalui juru bicara kepresidenaan.
"Ringkasnya, koordinasi dan proses komunikasi pemerintahan mutlak harus dikelaola berbasis pada fungsi-fungsi mamajemen komunikasi yang baik dan dilakukan oleh yang menguasai bidang ilmu kominukasi dan manajemen komunikasi. Jika tidak, bisa mengganggu reputasi pemerintah," ucapnya.