TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Irvanto Hendra Pembudi banyak membantah keterangan para saksi yang telah dihadirkan jaksa penuntut umum KPK di sidang kasus dugaan korupsi e-KTP, Selasa (23/10/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta. Alhasil Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan kasus tersebut menegur Irvanto.
"Saya lihat saudara ini banyak membantah, seperti diingatkan pak Jaksa. Silahkan saudara bantah tapi harus ada bukti bantahan," ujar Ketua Majelis Hakim Yanto ke Irvanto.
Teguran tersebut disampaikan karena keponakan Setya Novanto itu membantah pernah menerima uang dari pengusaha Muda Iksan Harahap. Padahal Iksan telah mengakui menyerahkan langsung uang kepada Irvan di rumahnya kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Tidak hanya itu, Irvanto juga membantah menerima 3,5 juta dolar dari Marketing Manager PT Inti Valuta Money Changer Riswan alias Iwan Barala. Padahal, di persidangan Iwan mengaku menyuruh stafnya mengantarkan uang kepada Irvan.
Baca: 4 Tahun Jokowi-JK, Sandiaga: Prabowo-Sandi Akan Perbaiki yang Belum Bisa Dicapai
Bantahan lainnya, Irvanto lagi-lagi tidak mengakui menerima uang SGD 500.000 dari politisi Golkar Fayakhun Andriadi. Dimana dalam persidangan sebelumnya Fayakhun dan stafnya Agus telah mengakui menyerahkan uang kepada Irvanto di showroom mobil milik Irvanto di Kemang, Jakarta Selatan.
Atas bantahan tersebut, Hakim Yanto meminta Irvanto tidak asal membantah keterangan saksi di persidangan. "Saya ingatkan yang bisa menolong anda itu diri anda sendiri," imbuh Hakim Yanto.
Diketahui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, yang juga mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, didakwa turut serta melakukan korupsi proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun.
Dia didakwa bersama-sama dengan pengusaha Made Oka Masagung. Keduanya berperan menjadi perantara dalam pembagian fee proyek pengadaan barang atau jasa e-KTP untuk sejumlah pihak.
Irvanto dan Made Oka juga turut serta memenangkan perusahaan tertentu dalam proyek itu. Atas perbuatannya, Anang dan Made Oka didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.