TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritik orang disekeliling presiden Jokowi yang kembali memberikan masukan yang salah. Kali ini menurut Fadli orang disekeliling Jokowi itu memberikan masukan yang salah soal kasus Baiq Nuril.
Presiden berencana memberikan grasi kepada staf honorer di SMA Mataram tersebut yang dipidana karena melanggar undang undang informasi dan transaksi elektronik, padahal grasi tersebut tidak bisa diberikan.
"Ya mungkin masukannya kali ya, dan ini saya kira bukan kejadian pertama ya. Garbage in garbage out. Jadi kalau masuknya A ya keluarnya A seperti itu. Seharusnya memang di tim kepresidenan itu mempunyai tim yang kuat di bidang hukum dan konstitusi. Sehingga presiden itu tidal boleh salah dalam urusan-urusan yang basic seperti ini," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (21/11/2018).
Fadli mengatakan bahwa grasi tidak bisa diberikan pada Baiq Nuril karena pidananya di bawah dua tahun. Sesuai UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi Pasal 2 ayat (2) mengatur bahwa Grasi hanya dapat dilakukan terhadap putusan pemidanaan berupa Pidana mati, pidana seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Sedangkan, Baiq Nuril hanya dijatuhi putusan pidana penjara selama 6 bulan dan denda 500 juta rupiah.
"Kalau grasi kan hukumannya kalau sesuai undang-undang di atas 2 tahun. Jadi menurut saya pernyataan presiden ini menimbulkan kita ya sebagai bangsa malu lah sebenarnya. Bagaimana bisa hal-hal yang sifatnya mendasar aja bisa salah," pungkasnya.
Baca: Digugat Cerai, Gading Marten Pernah Disebut Suami Terbaik Oleh Gisella Anastasia
Sebelumnya korban pelecehan seksual Baiq Nuril justru mendapat vonis hukuman 6 bulan penjara, denda Rp 500 juta subsider 3 bulan oleh Mahkamah Agung.
Putusan tersebut berawaL saat staf honorer di SMAN 7 Mataram Nusa Tenggara Barat itu, merekam pembicaraan telepon Muslim dengan dirinya yang diduga mengandung unsur asusila. Muslim merupakan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram.
Pada 2014 lalu, seorang rekan Baiq Nuril bernama Imam Mudawim meminjam telepon genggamnya dan menyalin rekaman pembicaraan Baiq Nuril dengan Muslim. Setelah disalin oleh Imam Mudawim, rekaman tersebut disebarkan dan seketika menyebar luas ke sejumlah guru maupun siswa.
Dipenghujun 2014, Muslim sang Kepala sekolah lalu melaporkan Baiq Nuril ke kepolisian karena merasa namanya telah dicemarkan lewat rekaman tersebut.
Baiq Nuril mendapatkan tuduhan atas dugaan tindak pidana mentransmisikan rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ITE. Sejak saat itu, Baiq Nuril resmi dipenjara sambil menjalani proses persidangan.
Pada sidang Juni 2017 di PN Mataram, Baiq Nuril dituntut oleh jaksa penuntut umum yakni Julianto dan Ida Ayu Putu Camundi Dewi dengan tuntutan pidana 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sebulan kemudian. Ketua Majelis Hakim PN Mataram NTB, Albertus Husada dalam sidang putusan Baiq Nuril yang digelar secara terbuka di Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Baiq Nuril dinyatakan tidak bersalah, tidak melanggar Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun, pada Sepemtember 2018 Mahakamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Mataram NTB dan membatalkan putusan PN Mataram sebelumnya yang memvonis bebas Baiq Nuril.
Dalam putusan kasasi tersebut, Baiq Nuril dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dan terancam pidana penjara 6 bulan kurungan serta denda Rp 500 juta. Apabila pidana denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.