News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Menkes Buka Pertemuan NMRAs di Jakarta

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek pada Pertemuan Kepala Otoritas Regulatori Obat negara anggota OKI (NMRAs) di Jakarta, Rabu (21/11/2018).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia menyerukan kepada sesama negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk merespon berbagai isu dan tantangan besar bidang kesehatan dan farmasi.

Mengingat beban penyakit menular di negara-negara OKI masih tinggi, dan tak ditunjang oleh kapasitas produksi dan akses terhadap obat esensial dan vaksin halal.

"Hal semacam itu menjadi agenda besar yang harus diselesaikan bersama negara-negara sesama anggota OKI," kata Menteri Kesehatan (Menkes), Nila FA Moeloek saat membuka Pertemuan Kepala Otoritas Regulatori Obat negara anggota OKI (NMRAs) di Jakarta, Rabu (21/11/2018).

Acara yang digelar selama 21-22 November 2018 itu dihadiri 32 negara anggota OKI, institusi OKI, mitra pembangunan internasional (WHO, UNICEF dan IDB) serta asosiasi industri farmasi dan vaksin dari negara anggota OKI.

Turut memberi kata sambutan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K Lukito, Assistant Secretary General OIC, Muhammad Naeem Khan dan CEO of Saudi Arabia FDA, Prof Hisham S Al Jadhey PharmD MS PhD.

Baca: Punya Potensi, BPOM Tegaskan Kualitas Produk UMKM

Menkes menyatakan keprihatinan atas masih tingginya angka kematian dan kesakitan di banyak negara anggota OKI.

Pada 2015, penyakit menular menjadi 30 persen penyebab kematian. Angka itu jauh melebihi angka kematian di negara berkembang non OKI yakni 24 persen dan 22 persen di dunia.

"Sejumlah negara OKI juga masih berjuang melawan epidemi penyakit menular yang sebenarnya dapat dicegah lewat vaksin. Rendahnya kapasitas produksi, yang diperburuk dengan rendahnya akses dan ketersediaan obat termasuk vaksin yang aman dan berkualitas," ujarnya.

Ditambahkan, selama 2010 hingga 2016 nilai ekspor produk farmasi di negara OKI naik sampai 17 persen. Akan tetapi nilai impornya pun meningkat dari 5,7 miliar dollar Amerika pada 2010 menjadi 8,1 miliar dollar Amerika pada 2015. Kenaikannya mencapai 42 persen.

"Kebutuhan akan sistem regulatori obat yg efektif dan kuat menjadi tantangan negara-negara anggota OKI. Selain itu pentingnya memastikan akses dan ketersediaan obat aman dan terjangkau masyarakat," ujarnya.

Menurut Nila, penguatan kerja sama antar otoritas regulatori obat dan kerja sama dengan mitra serta pemangku kepentingan di negara OKI merupakan hal yg sangat esensial guna mengatasi ketergantungan impor pada negara non OKI.

Kepala BPOM dalam sambutannya mengatakan, kondisi ekonomi, politik, dan keamanan yang tak menentu di sebagian negara anggota OKI, seperti di sebagian Timur Tengah dan Afrika kian mengkhawatirkan.

Terbatasnya akses dan keterjangkauan obat dan vaksin di dunia, terutama di negara konflik dan berpendapatan rendah, menyebabkan angka kematian yang tinggi akibat penyakit.

"Terbentuknya OKI untuk memperjuangkan keadilan. Situasi ini membutuhkan penanganan segera, dan bantuan dari kita semua, agar tidak terjadi krisis berkepanjangan, terlebih kaum perempuan dan anak-anak harus mendapat jaminan akses kesehatan yang memadai," ujarnya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini