TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Oxford Business Group (OBG) baru saja melakukan survey tatap muka di Jakarta yang melibatkan CEO untuk menilai hasil kerja pemerintahan Jokowi dan membahas arah perekonomian negara.
Hasilnya, secara garis besar, CEO yang disurvey tetap optimis terhadap prospek kemajuan usaha dalam negeri.
Lebih dari 80 persen dari total 112 responden menilai bahwa kondisi bisnis di Indonesia selama beberapa tahun mendatang akan menjadi positif atau sangat positif.
"Tingkat optimisme ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil survei kami yang diterbitkan pada awal tahun ini di mana 76% responden merasa optimis terhadap prospek bisnis dalam negeri," kata Patrick Cooke Regional Editor, Asia OBG dalam keterangan pers, Senin (27/11/2018).
Dikatakannya, meskipun ajang pemilu semakin dekat dan mata uang Rupiah terus mengalami tekanan, sentimen positif ini menjadi kabar baik bagi kepemerintahan Presiden Jokowi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki current account yang defisit dan sangat rentan terhadap dampak kenaikan nilai tukar dolar ataupun dampak tight money policy serta rentan terhadap ketidakpastian akibat dari perang perdagangan antara AS-China.
Pemerintahan Jokowi memperkenalkan skema Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA) dan mendirikan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) untuk merampingkan proses dan menyalurkan lebih banyak investasi swasta ke dalam 245 proyek prioritas negara.
Meskipun upaya-upaya pemerintah sudah berhasil meningkatkan Public–Private Partnerships (PPP) yang dipersiapkan sesuai standar internasional, hasil survei menunjukkan bahwa responden menganggap pemerintah perlu melakukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan proyek-proyek tersebut agar lebih bankable dan lebih menarik para investor asing.
"Ketika ditanya mengenai keberhasilan Indonesia dalam memperkuat PPP, 43% responden menjawab berhasil atau sangat berhasil, sementara 29% lainnya berpandangan negatif dan 23% responden tetap netral," katanya.
Beralih dari kebijakan domestik, survei terbaru kami menunjukkan adanya pergeseran persepsi para CEO mengenai faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia dalam jangka pendek ataupun menengah.
Dalam survey sebelumnya, fluktuasi permintaan (demand) dari Tionghoa merupakan kekhawatiran utama yang dirasakan oleh setidaknya 38% responden, sedangkan 23% lainnya menyatakan bahwa mereka sangat khawatir terhadap kebijakan proteksionisme dalam dunia perdagangan.
Sebelas bulan kemudian, kekhawatiran para responden jauh lebih bervariasi.
Sebagian besar (30%) responden menilai bahwa kebijakan proteksionisme dalam perdagangan merupakan risiko paling utama, sedangkan yang responden lainnya (25%) khawatir terhadap kenaikan harga minyak. Lalu, beberapa responden (23%) juga khawatir terhadap kenaikan suku bunga Fed dan fluktuasi permintaan dari Cina.
Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan termasuk dalam kelompok ekonomi G20, Indonesia akan terbebas dari dampak negatif akibat perang dagang karena memiliki pasar dalam negeri yang besar dengan nilai konsumsi lebih dari 50% PDB.
"Namun, para CEO tetap khawatir terhadap meningkatnya biaya impor yang diperlukan untuk menggerakan perekonomian domestik Indonesia yang dinamis apalagi nilai rupiah yang terus melemah," katanya.
Saat ditanya mengenai jenis keterampilan apa yang perlu dimiliki oleh tenaga kerja dalam negeri, para responden menilai bahwa kepemimpinan (32%), teknologi komputer (21%), engineering (20%), dan research & development (16%) merupakan yang paling utama.
"Apabila kembali terpilih menjadi presiden, salah satu tantangan yang perlu dihadapi oleh Presiden Jokowi ialah memenuhi tuntutan industri high-value yang membutuhkan sumber daya manusia berkualitas," katanya.