TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Gatot Pujo Nugroho mengaku sudah bosan harus berkali-kali memberikan keterangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kali ini, Rabu (5/12/2018) Gatot kembali bersaksi bersama dengan 10 saksi lainnya untuk lima terdakwa mantan anggota DPRD Sumut, yakni Rizal Sirait, Fadly Nurzan, Rooslynda Marpaung, Rinawati Sianturi dan Tiaisah Ritonga.
"Kita bertemu lagi ya Pak Gatot. Dulu saudara jadi terpidana sekarang jadi saksi disini," sapa jaksa KPK sebelum melontarkan pertanyaan pada Gatot.
"Sampai bosan pak," singkat Gatot.
Dalam persidangan Gatot mengaku dari lima terdakwa hanya dua terdakwa yang pernah menanyakan kekurangan pembayaran, yakni Rizal dan Rooslynda Marpauang.
"Kalau Pak Rizal saya ketemu di pertemuan umat, dia menanyakan soal kekurangan. Lalu Bu Roslina di penerbangan pesawat. Saya dari Jakarta ada keperluan dinas, di pesawat Bu Roslina duduk di depan saya. Lalu di Bandara Kualanamu dia mendekat ke saya. Bilang ada kurang jatah, tapi tidak bilang uang ketok," paparnya.
Diketahui kelima terdakwa ini adalah bagian dari 38 mantan anggota DPRD Sumut yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Dikasus ini terdakwa Rijal Sirait menerima Rp 477,5 juta, Rooslynda Marpaung menerima Rp 885 juta, Rinawati Sianturi Rp 505 juta, dan terdakwa Tiaisah Ritonga menerima Rp 480 juta.
Baca: Moeldoko: Pemerintah Bergerak Cepat Pulihkan Kondisi Keamanan di Papua
Menurut jaksa, uang suap diberikan Gatot agar para terdakwa mengesahkan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPJP) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut TA 2012.
Pengesahan perubahan APBD Sumut TA 2013, Pengesahan APBD Sumut 2014, pengesahan perubahan APBD Sumut tahun 2014 serta pengesahan terhadap APBD Provinsi Sumut tahun 2015.
Sementara untuk terdakwa Rinawati Sianturi dan Tiaisah Ritonga, uang itu juga diberikan agar mereka mengesahkan LPJP APBD Sumut Tahun Anggaran 2014.
Masih menurut jaksa, uang tersebut diberikan melaluiMuhammad Alinafiah, Randiman Tarigan selaku Sekwan Provinsi Sumut, Baharudin Siagian selaku Kepala Biro Keuangan Provinsi Sumut, dan Ahmad Fuad Lubis.
Jaksa menjelaskan, para pimpinan DPRD Sumut itu meminta uang kompensasi yang disebut sebagai uang ketok yang jumlahnya berbeda-beda di tiap tahun untuk diserahkan ke seluruh anggota dewan.
Kejadian itu terus berulang setiap pihak eksekutif mengajukan pengesahan LPJP APBD maupun pengesahan perubahan APBD, dan pengesahan APBD Sumut mulai dari tahun 2012 hingga 2015.
Atas perbuatannya, mereka didakwa telah melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.