Kritik mengenai penggunaan anggaran kembali dialamatkan ke Kementerian Pertanian (Kementan), setelah beberapa hari lalu menerima sejumlah penghargaan.
Salah satunya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai Kementerian yang dinilai cakap dalam hal mengendalikan praktik gratifikasi.
Data baru Badan Pusat Statistik (BPS) melalui citra satelit mengenai luas lahan sawah menjadi sandaran kritik. Ditengarai telah terjadi pemborosan, karena anggaran masih menggunakan data luas lahan BPS yang lama.
Mengenai data lama BPS yang digunakan Kementan sebelum terbitnya data baru BPS, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Prof. Luthfi Fatah mengingatkan, bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) telah mengatakan bahwa data pangan Indonesia keliru sejak 20 tahun yang lalu.
Hal ini disampaikannya usai Rapat Koordinasi Terbatas menyenai penyempurnaan data pangan dengan pendekatan baru Kerangka Sampel Area (KSA). JK mengakui bahwa kekeliruan ini jadi polemik panjang karena ia tidak segera mengevaluasi data tersebut saat menjabat sebagai Wapres di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Tudingan kesalahan mengenai data pangan yang dialamatkan pada Kementan era Pemerintaha Jokowi tidak beralasan dan kurang berdasar. Karena Kementan di bawah kepemimpinan Amran Sulaiman baru berjalan sejak 2014 lalu”, ujar Luthfi.
Ia mengimbau agar semua pihak memahami tugas fungsi masing-masing lembaga dan kementerian, sebelum melontarkan pendapat.
"Kementan itu tupoksinya adalah memproduksi pangan dan harus fokus memenuhi produksi. Kementan tidak punya tanggung jawab secara yuridis dan de facto untuk menyusun data pertanian," ujarnya lagi.
Alih Fungsi Tak Terbendung, Kementan Optimalkan Lahan Rawa
Soal terus berkurangnya luas lahan sawah, Pemerintah memperketat koordinasi. Kementerian ATR/ BPN fokus menggarap rancangan peraturan presiden guna mempersulit alih fungsi lahan.
Sementara Kementan meminta Dinas Pertanian Provinsi, Kabupaten dan Kota mendata luas baku sawah, untuk mendapatkan data yang lebih spesifik dan terperinci.
Kementerian Pertanian menyadari sepenuhnya, alih fungsi lahan tak dapat dibendung dengan mencetak sawah. Maka Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengalihkannya menjadi optimasi lahan rawa.
Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana, Kementerian Pertanian, Pending Dadih Permana, mengatakan saat ini masih banyak masyarakat miskin yang memiliki lahan rawa, sedangkan cetak sawah baru tidak mudah dilakukan.
"Sementara cetak sawah itu daerahnya harus clean and clear, tetapi Area Penggunaan Lain (APL) semakin terbatas," kata Pending di Jakarta.
Optimasi lahan rawa yang dimulai tahun 2016 dengan luas 3.999 hektare, tumbuh melambat pada 2017 yang capaiannya 3.529 hektare. Namun tahun ini perkembangannya justru melesat menjadi 16.400 hektare. Alhasil, secara keseluruhan capaian sudah sebanyak 23.928 hektare.