Perubahan fundamental tata kelola tenaga kerja Indonesia (TKI) yang tertuang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 harus diikuti pula dengan perubahan secara mendasar terhadap pendekatan pola kerja dan mindset serta menjadikan TKI yang di dalam Undang-Undang baru disebut sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) harus betul-betul menjadi aset.
BNP2TKI sebagai institusi Pemerintah yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri, mulai menata diri dan menyesuaikan dengan tuntutan dari perubahan fundamental tata kelola dimaksud antara lain mempersiapkan reorganisasi dan restrukturisasi Badan dengan perubahan-perubahan cara kerja serta pengembangan pegawai yang lebih professional.
Disamping itu, BNP2TKI juga mulai agresif untuk melakukan berbagai pendekatan ke sejumlah negara khususnya non-tradisional untuk menembus pasar kerja profesional dan formal di sejumlah negara Eropa, Amerika, Kanada dan Pasifik seperti Australia.
Tim BNP2TKI yang dipimpin oleh Sekretaris Utama, Duta Besar Tatang Razak melakukan pertemuan dengan sejumlah pemangku kepentingan di Belanda, Jerman dan Polandia. Tatang dan tim disamping bertemu dengan otoritas setempat juga bertemu dengan para pengusaha dan Diaspora Indonesia. Dari kunjungan ke tiga negara tersebut, terdapat peluang lebar bagi warga negara Indonesia untuk mengisi lapangan pekerjaan dalam berbagai sektor antara lain di sektor industri, manufaktur, kesehatan, transportasi dan hospitality.
Dubes Tatang merasa optimis, jika para pemangku kepentingan di Indonesia berkolaborasi dan bersinergi menyiapkan tenaga-tenaga profesional dan skill untuk mengisi pasar kerja di negara-negara maju, maka dalam waktu singkat kita bisa menembusnya dengan mudah.
Saat ini puluhan ribu warga negara Indonesia bekerja dan mengisi posisi yang cukup penting dan strategis di negara-negara Eropa seperti para Engineer yang bekerja di perusahaan pesawat Airbus di Hamburg, para Dokter dan Perawat, Teknisi dan lain-lain membuktikan bahwa tenaga kerja Indonesia memiliki kapasitas. Namun pada umumnya para WNI tersebut mendapatkan pekerjaan di negara-negara Eropa dengan skema mandiri (mendapatkannya sendiri).
Skema mandiri (Independent) yang selama ini sudah berjalan, dapat dikembangkan dengan skema Government to Government (G to G), Government to Private (G to P), Private to Private (P to P). Permintaan akan tenaga kerja Indonesia sangat tinggi, hal ini tercermin dengan job indication ketika Employment Business Meeting di Warsawa, Polandia yang diselenggarakan oleh KBRI dan dihadiri oleh 23 CEO perusahaan Polandia dan 8 PPTKIS besarnya permintaan dalam berbagai sektor.
Tatang juga menyampaikan bahwa ketika bertemu dengan otoritas Jerman, mereka bukan saja memberikan peluang untuk WNI bekerja di Jerman, namun juga akan membantu untuk vokasi dalam rangka menyesuaikan standarisasi yang ada. Sementara itu ketika mengunjungi perusahaan kapal tanker di Belanda, Anthony Vedder dimana lebih dari 400 orang Indonesia bekerja di perusahaan tersebut dengan gaji tertinggi $12.000.
Selama ini sebagian besar tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang ditangani oleh BNP2TKI didominasi oleh pembantu rumah tangga, konstruksi bangunan, perkebunan kelapa sawit dan ABK perikanan. Jumlah para pekerja di sektor tersebut cukup tinggi, namun sebagian dikirim tidak secara prosedural sehingga menjadi liabilities.
Kalau kita saat ini sudah bisa mengirim pekerja Indonesia lulusan SMP/SMA ke Korea Selatan yang bekerja di manufaktur dengan gaji 25 juta sampai dengan 35 juta secara aman/terlindungi dan ternyata banyak peluang kerja profesional, skill dan formal di negara-negara non-tradisional, mengapa kita masih harus berkutat mengirim tenaga kerja kita di sektor-sektor yang rentan akan eksploitasi. “Saatnya kita para pemangku kepentingan untuk menyiapkan tenaga kerja Indonesia yang profesional dan skill untuk menembus pasar kerja dunia serta merubah pekerja migran Indonesia dari liabilities menjadi asset”. Kata Tatang disela-sela memimpin delegasi Indonesia di Warsawa. (*)