Oktober 2018 lalu menjadi saat yang penuh tanda tanya bagi Fauzi Rizki Arbie (25). Betapa tidak, saat itu kontrak Fauzi di Dinas Perpustakan Kota Bandung tidak diperpanjang. Apalagi ayahnya bekerja serabutan, kadang bekerja tetapi kadang juga tidak, sementara ibunya sebagai ibu rumah tangga. Kebetulan saat itu ayah Fauzi, Amirudin Arbie, mendapat panggilan bekerja sebagai mandor bangunan di Lombok, NTB.
“Ayah saya kerjanya serabutan, ketika ada kerjaan ya kerja, ketika gak ada ya dia gak kerja,” ujar Fauzi, mengisahkan latar belakang keluarganya.
Sejak itu, Fauzi tinggal berdua dengan ibunya, Nenny Mulyanie, di kota yang berjuluk Paris van Java. Dalam kondisinya yang menganggur, ia mengaku tidak tenang. Pasalnya, sebagai anak laki-laki, ia merasa bertanggungjawab terhadap ibunya.
“Sempat tidak tenang, tak ada kegiatan untuk menambah penghasilan orang tua,” lanjutnya bercerita.
Kondisi tersebut mendorong Fauzi untuk berusaha keras memperoleh pekerjaan yang mapan, yakni menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merupakan impiannya. Kebetulan, saat itu pemerintah sedang membuka seleksi CPNS Tahun Anggaran 2018. Berbekal pengalaman bekerja di pemerintahan, Fauzi mendaftarkan diri pada rekrutmen CPNS tahun 2018. Ia mendaftar pada formasi pengelola teknik informasi bidang monitoring dan evaluasi di Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Perjuangan dimulai saat melakukan pendaftaran secara online. Tiga hari ia mencoba mendaftar di web resmi Sistem Seleksi CPNS Nasional (SSCN), namun selalu gagal karena banyaknya orang yang hendak mendaftar.
Ia juga mengakui, dengan latar belakang pendidikan D-III, agak sulit untuk mencari posisi yang tepat. Sebelumnya, ia menempuh pendidikan teknik komputer di Politeknik Piksi Ganesha Bandung.
Akhirnya Fauzi memantapkan pilihannya di Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), meskipun formasinya hanya satu, yang membuatnya pesimis. Dua minggu berlalu. Saat pengumuman seleksi administrasi, ia menemukan namanya berhak ikut ke tahap Seleksi Kompetensi Dasar (SKD).
Ia sadar sepenuhnya bahwa SKD dengan sistem Computer Assisted Test (CAT) ini tak dimungkinkan ada kecurangan atau ‘titipan’. Ia pun menyiapkan diri dengan belajar keras, karena hanya kemampuannya sendiri yang bisa menolongnya, selain kekuatan doa kepada Tuhan YME.
Selama 100 menit, ia berkutat dengan kumpulan soal Tes Karakteristik Pribadi (TKP), Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), dan Tes Intelegensia Umum (TIU). Untuk lolos, Fauzi harus memenuhi ambang batas dari tiap-tiap kelompok soal. Hasil keringatnya pun langsung tertera saat ia selesai mengerjakan soal. Hasilnya, Fauzi mendapat nilai 70 untuk TWK, 100 untuk TIU, dan 136 untuk TKP.
“Nilai saya tidak memenuhi passing grade di bagian TKP dan TWK. Saya hanya bisa berdoa, kalau memang sudah rejeki mungkin ada cara lain,” imbuh Fauzi, yang gemar naik gunung ini.
Tanpa disangka, Kementerian PANRB kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri PANRB No. 61/2018 tentang Optimalisasi Pemenuhan Kebutuhan Formasi PNS dalam Seleksi CPNS Tahun 2018.
Adanya regulasi yang mengatur soal ranking itu, menguntungkan Fauzi yang mendapat nilai kumulatif cukup tinggi pada SKD. Anak terakhir dari dua bersaudara ini pun dinyatakan lolos dan berhak mengikuti Seleksi Kompetensi Bidang (SKB).
Dalam benaknya, yang ia tahu SKB tidak berbeda jauh dengan SKD yang berbasis CAT. Ia kaget saat membaca pengumuman, ternyata SKB terdiri dari psikotes, wawancara, CAT, TOEFL, dan praktik kerja. Rasa pesimis kembali menghantuinya.
Ia sadar, bahwa yang lolos sampai tahap ini adalah peserta yang unggul. Ia harus bersaing dengan dua orang lain karena setiap formasi diikuti tiga orang peserta untuk diambil salah satu yang terbaik, setelah nilainya diintegrasikan dengan nilai SKD. Bobotnya, 40 % untuk SKD dan 60 % untuk SKB.
Namun demikian, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Dengan tekad bulat, Fauzi melangkah ke ibukota dengan harapan bisa menaikkan derajat kedua orang tuanya.
Sebelum ujian, ia selalu minta doa restu dengan mencium tangan dan kaki ibunya. Tak lupa, melalui sambungan telepon, ia juga meminta doa kepada ayahnya yang saat itu berada di Lombok.
Doa dan harapan kedua orang tuanya itu menjadi pemicu semangat Fauzi menghadapi rangkaian seleksi CPNS. Fauzi menekankan, ia selalu berusaha menyeimbangkan antara doa dan usaha keras.
"Doa tanpa usaha itu bohong, tapi usaha tanpa doa itu sombong", begitu kutipan yang selalu menjadi pegangan hidupnya.
Berbekal doa kedua orang tuanya, serta usaha yang keras, Fauzi berhasil lolos SKB dan memasuki tahap pemberkasan.
Perjuangan yang sudah ia lakukan sampai tahap sejauh ini, ia persembahkan untuk kedua orang tuanya. Menurut Fauzi, sebagai anak laki-laki, sudah sepatutnya untuk mengangkat derajat serta membahagiakan mereka.
“Saya ingin memberangkatkan mereka umroh dan insya Allah akan mendekatkan ayah dan ibu saya agar tidak berjauhan. Saya juga ingin membalas budi atas kebaikan mereka, meski tidak mungkin, setidaknya saya tidak tinggal diam,” tutur Fauzi.
Kini, ia sudah berhasil membuktikan apa yang ia yakini, lulus seleksi CPNS tanpa bantuan orang lain tetapi dengan kemampuannya diri sendiri. Apresiasi juga ia sampaikan kepada pemerintah karena berhasil melaksanakan rekrutmen abdi negara yang transparan dan akuntabel. Sistem CAT ini ia yakini tak ada celah terjadinya kecurangan.
“Tidak ada kecurangan karena dengan komputerisasi dan hasilnya real time,” imbuhnya.
Fauzi membulatkan tekadnya untuk mengabdikan diri kepada Indonesia dan membahagiakan kedua orang tuanya. Dengan menjadi CPNS, ia ingin ikut memperbaiki sistem komunikasi yang selama ini belum terintegrasi. Ia memiliki cita-cita untuk mengembangkan teknologi informasi agar lebih berguna bagi masyarakat luas, terutama di daerah yang belum terjangkau.
“Saya ingin sistem informasi itu terhubung hingga ke pelosok, jangan cuma di kota besar,” tandasnya. (*)