Indikator ekonomi strategis terkini terkait kesejahteraan petani, ketimpangan pendapatan, jumlah penduduk miskin dan tingkat inflasi selama Maret-Desember 2018 menunjukkan kinerja yang baik.
Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam menjalankan program secara baik terutama untuk sektor pertanian.
Persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2018 tinggal 9,66 persen (25,67 juta orang) dan mengalami penurunan sebesar 0,16 persen poin terhadap Maret 2018 (9,82 persen), dan 0,46 persen poin terhadap September 2017 (10,12 persen).
Secara detail, selama Maret 2018 sampai September 2018 jumlah penduduk miskin di perkotaan turun sebesar 0,13 persen poin, dari 7,02 persen menjadi 6,89 persen.
Pada waktu yang sama jumlah penduduk di perdesaan juga menurun sebesar 0,10 persen poin, dari 13,20 persen menjadi 13,10 persen.
“Sektor pertanian merupakan penopang utama mata pencaharian penduduk pedesaan. Data tersebut menunjukkan bahwa program yang dijalankan pemerintah cukup efektif meningkatkan kesejahteraan,” terang Kepala Pusat Data dan Informasi, Kementerian Pertanian Ketut Kariyasa menanggapi data terbaru BPS yang baru duluncurkan.
Senada dengan BPS, menurut Ketut, ada beberapa faktor yang menyebabkan jumlah penduduk miskin khususnya diperdesaan menurun. Pertama, upah riil buruh tani per hari naik.
Pada bulan September 2018, upah riil buruh tani naik sebesar 1,6 persen terhadap Maret 2018 sehingga menyebabkan daya beli buruh tani terhadap kebutuhan dasar membaik.
Kedua, Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) dan Nilai Tukar Petani (NTP) yang mencerminkan daya beli atau kesejahteraan petani juga terus membaik.
Pada September 2018, NTUP naik sebesar 0,41 persen dibanding Maret 2018, dari 111,58 menjadi 112,05. NTP juga naik sebesar 1,21 persen dibanding Maret 2018, dari 101,94 menjadi 103,17.
Ketiga, harga eceran beberapa komoditas pokok secara nasional mengalami penurunan selama periode Maret 2018 – September 2018, seperti harga beras turun sebesar 3,28 persen, daging sapi turun 0,74 persen, minyak goreng turun 0,92 persen dan gula pasir turun 1,48 persen.
“Keempat, inflasi umum juga cukup rendah, yaitu selama periode Maret 2018 – September 2019 hanya 0,94%, sehinga daya beli riil masyarakat secara umum meningkat karena kenaikan pendapatan nominal tidak banyak tergerus oleh inflasi. Harga kebutuhan pokok menyebabkan inflasi bahan pangan juga rendah,” terang Ketut.
Selain jumlah penduduk miskin menurun dan kesejahteraan penduduk membaik, pada saat yang sama juga terjadi penurunan ketimpangan pendapatan masyarakat baik di perkotaan dan perdesaan, yang ditandai oleh menurunnya indek gini rasio.
Selama Maret-September, indek gini rasio di perdesaan turun dari 0,324 menjadi 0,319. Pada saat yang sama di perkotaan juga turun dari 0,401 menjadi 0,391.
“Namun demikian, yang menarik bahwa dari indek gini rasio ini terlihat ketimpangan pendapatan di perdesaan lebih rendah dari perkotaan,” ujar Ketut
Sejak awal, menurut Ketut, sejumlah program yang dirancang Kementerian Pertanian seperti upaya khusus (UPSUS) peningaktan produksi padi, jagung, hortikultura serta program Sapi Indukan Wajib Bunting (SIWAB) memang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, selain meningkatkan peningkatan produksi dan suplai.
Program pembenahan rantai pasok dan distribusi pangan dilakukan Kementan juga di satu sisi menyebabkan harga jual produk yang diterima petani terus membaik, disisi lain konsumen dapat membeli pangan pada tingkat harga yang terjangkau.
Selain melalui peningkatan produksi dan pembenahan rantai pasok dan distribusi pangan, untuk mempercepat berkurangnya jumlah penduduk miskin di perdesaan, Kementerian Pertanian membuat program terobosan yaitu Bedah Kemiskinan Rakyat Sejahtera (BEKERJA) Berbasis Pertanian.
“Dengan paket bantuan 50 ekor ayam per RTM dan bantuan tanaman sayuran-sayuran yang ditanam di lahan pekarangan, serta beberapa jenis tanaman tahunan dalam waktu 6 bulan atau kurang dari satu tahun RTM sudah mampu memberikan pendapatan sekitar Rp 2,3 juta/RTM/bln atau Rp 550 ribu/kap/bln, dan besaran ini sudah di atas batas garis kemiskinan,” beber Ketut. (*)