TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menjelaskan, posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI punya hakikat sebagai sebuah utusan daerah, bersifat individual, dan bukan sama sekali wakil dari kekuatan politik tertentu.
"Sebagai substitusi utusan daerah maka wujudnya DPD bersifat individual tidak mewakili kekuatan politik tertentu," kata Bagir Manan dalam FGD Konstitusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (13/2/2019).
Dia menjelaskan, lantaran bukan bertindak sebagai wakil kekuatan tertentu, DPD seharusnya hanya berisikan figur daerah yang tak punya kaitannya dengan politik, apalagi partai politik.
Bila seorang anggota DPD RI berstatus sebagai mantan, maka hal tersebut tidak menjadi persoalan. Namun seorang anggota DPD harus betul-betul menjaga hakikat dan fungsi sesungguhnya.
"Kalau dia pernah menjadi gubernur dan lain-lain itu nggak soal, tapi hakikat dan fungsinya itu yang harus ditangkap," sebutnya.
Terkait adanya perbedaan putusan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung dalam pencalonan anggota DPD RI dari kepengurusan partai politik, Bagir Manan memandang kedua lembaga itu memang memiliki lingkungan wewenangnya masing-masing
Menilik soal perbedaan putusan antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) dalam pencalonan anggota DPD RI dari kepengurusan parpol, Bagir menyebut hal itu terjadi lantaran dua lembaga tersebut punya lingkungan kewenangannya masing-masing.
Baca: Tak Setuju Ahok Masuk Timses Jokowi, Maruf Amin: Bagus Sarannya Pak JK
Sehingga dia menilai, tidak ada yang salah dengan perbedaan putusan dua lembaga hukum tersebut.
"Tentu secara hukum tidak ada yang salah, karena lingkungan kewenangan berbeda. Tapi bagaimana mita mendudukan putusan MK yang sifatnya kosntitusional," pungkasnya.
Sebelumnya, polemik ini beranjak dari apakah anggota DPD boleh merangkap jabatan di kepengurusan partai politik.
Sementara itu, MK memutuskan anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai anggota partai politik.
Aturan tersebut tertuang dalam putusan MK nomor 30/PUU-XVI/2018. Namun, belakangan ada pihak yang menggugat putusan itu ke Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).