News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Media Sosial dan Generasi Milenial Menjadi Sesuatu yang Tidak Terpisahkan

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengguna media sosial mengakses akunnya untuk mencari informasi dan hiburan, Jakarta, Rabu (20/2/2019).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Generasi milenial merupakan bonus demografl yang dimiliki oleh Indonesia di masa mendatang.

Generasi ini Iahir di saat era tercanggih teknologi intemet semakin masif digunakan, terutama dalam pemanfaatan media sosial gebagai platform komunikasi dan bersosialiasi.

Persoalan dan tantangan generasi milenial itulah yang akan menjadi bahasan dari IndoSterling Forum (ISF) kelima yang digelar belum lama ini di Jakarta.

Mengusung tema “Milenial, Media Sosial dan Politik", ISF siap membedahnya dari sudut pandang ekonomi yang dikaitkan dengan kontestasi pemilihan presiden pada 17 April mendatang.

“Peran media sosial dan generasi milenial menjadi bagian yang tak bisa terpisahkan pada saat sekarang. Inilah yang akan kita bahas dalam ISF kelima ini,” kata William Henley, founder dari IndoSterling Capital, saat membuka forum diskusi di Jakarta belum lama ini.

William mengatakan sebagai bagian dari bonus demografi yang dimiliki Indonesia, kehadiran generasi milenial ini tentunya tidak boleh disia-siakan oleh pemerintah.

“Dengan tingginya angka usia produktif, maka Indonesia dapat memanfaatkannya untuk mendorong penumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.

Baca: Puluhan Ribu Warga Ramaikan Fun Walk Millenial Road Safety Festival di Ambon

Edbert Gani Suryahudaya,  Head of The Atma Jaya Institute for Public Policy (AJIPP) mengatakan, berbicara tentang milenial,  perlu memilih sudut pandang mana yang sedang kita bicarakan.

Dalam konteks ekonomi dan bisnis, definisinya cukup jelas ketimbang dalam diskusi politik.

"Kata milenial memiliki beberapa aspek yang melekat yakni berbicara soal generasi, dengan rentang usia yang spesifik dan diatribusikan dengan beberapa karakteristik yang terbangun dari kemajuan teknologi," kata Edbert.

Masyarakat melihat millenial sebagai pribadi yang adaptif dengan teknologi, terliterasi secara digital (kurang yakin) dan sangat aktif bermain media sosial.

"Tidak jarang, kami dikerangkakan sebagai orang yang individualistis dan narsistik, beberapa dari kami menyukai pop-culture dan merasa bahwa musik Indie itu keren," katanya.

Dalam diskusi politik, definisi milenial seringkali menjadi buram.

Baca: Susi Pudjiastuti ke Milenial: Gimana Mau Diikuti Kalau Kalian Enggak Ngerti Apa-apa

Setiap kali kata milenial digunakan, pusaran perdebatan masih banyak didominasi oleh seperti apa milenial terlihat, ketimbang apa yang dibutuhkan oleh milenial.

"Tak jarang kita temukan politisi yang menempatkan milenial sebatas ‘anak muda’. Satu hal penting terlewatkan bahwa sebagian besar ‘anak muda’ ini bukanlah pemilih pemula," katanya.

Milenial masih sering ditempatkan sebagai objek demokrasi elektoral, ketimbang memberikan ruang bagi mereka sebagai subjek. Generasi milenial nyatanya memahami dengan baik bahwa demokrasi bukanlah persaingan Pemilu semata.

Lantas bagaimana melenial memandang demokrasi di Indonesia saat ini? Apa yang membuatmu menilai kualitas demokrasi di Indonesia buruk?

Sebagai generasi yang sangat dekat dengan digitalisasi di berbagai bidang, terutama di bidang media, milenial tanpa disadari memahami adanya keuntungan perkembangan
teknologi terhadap demokrasi: keterbukaan informasi.

"Asymmetric information yang menjadi masalah utama sistem demokrasi cukup banyak telah digerus oleh adanya media sosial karena itu pula maka perdebatan programatik sesungguhnya lebih menarik bagi generasi ini," katanya.

Berkaitan dengan diskusi programatik, kedepannya Indonesia perlu fokus untuk meningkatkan kualitas SDM, dan milenial adalah subjek sekaligus objeknya.

Perlu pula dikembangkan interaksi dua arah dengan milenial agar fasilitas pengembangan skill bisa benar-benar menjawab kebutuhan baik itu dari pasar maupun dari minat dan bakat kaum muda sebagai subjek pembangunan," kata  Deasy Sutedja, corporate communication manager IndoSterling.

"Negara perlu menyediakan fasilitas bagi kaum muda yang ingin menjadi wirausaha. Salah satunya dengan penyediaan kredit ringan untuk memulai usaha. Temuan menarik lainnya adalah adanya kesadaran untuk mengembangkan kemampuan berbahasa asing," katanya.

Untuk membahas tema dari ISF kelima ini pihaknya menghadirkan para pakar yang kompeten. Para pembicara dalam forum ini ada Edbert Gani

Suryahudaya dari Institute of Public Policy, Universitas Atma Jaya, Ainun Chonsum mewakili komunitas pengguna media sosial, Dody Rochadi sebagai managing director Keystone Advisory Indonesia, serta dipandu oleh Bagja Hidayat, redaktur senior Majalah Tempo.

“Seperti forum diskusi sebelumnya, kami berharap bahasan ini kelak bisa memberikan nilai manfaat kepada banyak pihak, terutama pemerintah maupun pelaku bisnis yang ada di negeri ini," kata Deasy. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini