Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akademisi ilmu politik Universitas Indonesia Valina Singka Subekti menyebut batas minimum usia pemilih dalam ajang pesta demokrasi perlu dinaikkan dari 17 tahun ke usia lebih matang lagi.
Tujuannya, agar jumlah pemilih tidak membengkak.
"Di sini usia pemilih ditentukan 17 tahun, kalau di Jepang itu 20 tahun. Saya kira batas usia ini perlu ditambah supaya jumlah pemilih tidak begitu besar," kata Valina di KPU RI, Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Baca: Hasto: Baru Kali Ini Ada Presiden yang Paling Rajin Kunjungi Aceh, Itu Pak Jokowi
Dia mengatakan jumlah 192.828.520 pemilih dalam Pemilu tahun ini dirasa cukup besar.
Terlebih Program Keluarga Berencana (KB) disebutnya tidak sesukses.
"Program KB di negara kita termasuk yang tidak sukses belakangan ini, tidak seperti zaman orde baru," katanya.
Sebab itu, menurutnya soal wacana menaikkan batas minimum usia pemilih perlu dikaji kembali.
Baca: Jokowi Pesan Bantuan PKH untuk Tambahan Gizi Anak Bukan Keperluan Pribadi
Lebih lanjut, Valina juga cermati mekanisme penghitungan suara secara manual di pemilu 2019 bisa menyebabkan molornya waktu keputusan final hasil pemilu.
Bahkan, kata dia, publik butuh waktu selama satu bulan lamanya supaya bisa mengetahui secara pasti siapa pemenangnya.
"Kita butuh waktu satu bulan untuk mengetahui hasil pemilu," ujar Valina.
Padahal kata dia, perkembangan teknologi informasi dewasa ini bisa dimanfaatkan dalam proses penghitungan suara.
Baca: Prabowo Temui Pendukungnya di Subang
Selain lebih cepat, mekanisme penghitungan lewat unsur teknologi juga dapat menjamin keamanan tiap suara pemilih.
Ke depan, Pemerintah diharapkan bisa concern soal masalah waktu penghitungan suara tersebut supaya bisa di revisi ulang.
"Masalah penghitungan ini perlu dimasukkan dalam revisi Undang-undang Pemilu, kedepan," katanya.