TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) kembali mengadakan pelatihan bagi 30 calon Relawan IKI di tiga kabupaten daerah dampingan baru.
Pelatihan yang berlangsung di Hotel Megaland Solo itu dihadiri pimpinan Dinas Dukcapil dari ketiga daerah, dibuka oleh Ketua II IKI Saifullah Ma'shum.
Dari IKI hadir peneliti utama, Eddy Setiawan dan Swandy Sihotang, serta dua orang staf, Riska Elharis dan Indah Widiyani.
Semua pimpinan Dinas Dukcapil menyambut baik kerjasama dengan IKI ini dan mengharapkan dengan hadirnya relawan IKI maka makin banyak warga masyarakat yang mendapat pelayanan untuk mendapatkan dokumen kependudukan, terutama penduduk yang rentan Adminduk.
Dalam pelatihan ini terungkap pengalaman mengenai persoalan kependudukan yang pernah dialami di lapangan. Yakni, ketika seorang penduduk mengurus surat pindah penduduk ke daerah lain, sementara di daerah yang dituju itu, karena sesuatu hal, tidak didaftarkan.
Akibatnya yang bersangkutan, status kependudukannya menjadi tidak jelas, bahkan secara administratif bisa disebut stateless, karena status kependudukannya hilang.
Orang yang mengalami kondisi seperti ini sungguh banyak. Lantas apa yang harus dilakukan oleh penduduk yang mengalami peristiwa seperti ini?
Kepala Dinas Pencatatan Sipil Kabupaten Sragen, Wahyu, mempunyai jawaban lugas dan solutif.
"Silakan yang bersangkutan membuat surat pernyataan pembatalan pindah penduduk, dan menyerahkan kembali surat pindah penduduk tersebut ke Dinas Duscapil asalnya, supaya penduduk yang sudah dicabut berkasnya itu dicatat kembali di daerah asal," ujar Wahyu, menjawab pertanyaan seorang relawan Institut Kewarganegaraan Indonesia asal Sragen, dalam forum Pelatihan Relawan IKI Sragen, Wonogiri dan Karanganyar di Solo, seperti dikutip dari keterangan tertulis IKI, Kamis (14/3/2019).
Baca: Saksi Tak Bisa Jelaskan Kerugian Investasi Pertamina di Blok BMG
Tarti, sang relawan, menceritakan pengalaman mendampingi warga yang punya kasus demikian.
Sungguh tragis peristiwanya. Seorang penduduk Sragen berniat daftar menjadi anggota Polisi di DKI Jakarta.
Yang bersangkutan cerita dia, membawa surat pindah dari Dukcapil Sragen ke Dukcapil DKI Jakarta. Oleh seorang oknum (tidak dijelaskan oknum kelurahan, Dukcapil atau calo) di Jakarta ia dimintai uang Rp 7 juta untuk bisa mendapatkan KTP DKI.
"Karena merasa shock dengan kejadian ini, ia langsung mengurungkan niatnya mendaftar jadi polisi. Dan ia pun balik lagi ke Sragen," kisahnya.
Tidak berapa lama kemudian yang bersangkutan diterima bekerja di suatu perusahaan. Dan untuk kepentingan administrasi penggajian, ia harus membuka rekening bank.
Di sinilah persoalan mulai mendera.
Untuk membuka rekening bank ia harus punya KTP, sementara KTP yang diterbitkan Dukcapil Sragen sudah dicabut.
Ketika mengurus ke Dukcapil Sragen ia diminta menyerahkan surat keterangan pindah dari DKI -- yang memang harus begitu prosedurnya.
Hal ini jelas tidak bisa dipenuhi, karena ia tidak pernah menjadi penduduk DKI.
"Seringkali kejadian seperti ini dialami penduduk yang sudah terlanjur mengurus surat pindah dari suatu daerah ke daerah lain tetapi urung pindah ke daerah yang dituju, yang menjadikan status kependudukan yang bersangkutan mengambang," kenangnya.
Secara regulasi, solusi dari kasus semacam ini memang tidak secara terang benderang dijelaskan.
Dan penjelasan Kadis Dukcapil Kabupaten Sragen agaknya bisa dijadikan norma dalam regulasi terkait Adminduk. Yaitu Surat Keterangan Pembatalan Pindah Penduduk.
Berbekal surat ini penduduk bisa minta kepada Dukcapil di daerah asal agar menghidupkan lagi status kependudukannya.(*)