TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dedeng Hidayat , SVP Hukum Korporat PLN, mengatakan pihaknya menghormati proses hukum yang sedang dihadapi oleh Dirut PT PLN (Persero) Sofyan Basir.
"Kami segenap Jajaran Management dan seluruh pegawai PLN turut prihatin atas dugaan kasus hukum yang menimpa Pimpinan kami," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Selasa malam.
"Kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) dengan tetap mengedepankan azas praduga tak bersalah. Selanjutnya kami menyerahkan seluruh proses hukum kepada KPK yang akan bertindak secara profesional dan proporsional."
Baca: Presiden Jokowi Sebut Urus Investasi di Indonesia Masih Ruwet
Baca: Sofyan Basir Ditetapkan Tersangka KPK, BUMN dan PLN Siap Koorperatif
Ia memastikan, pimpinan PLN beserta jajaran akan bersikap kooperatif manakala dibutuhkan dalam rangka penyelesaian dugaan kasus hukum yang terjadi.
Dengan adanya kasus ini, PLN menjamin bahwa pelayanan terhadap masyarakat akan berjalan sebagaimana mestinya.
Kasus PLTU Riau-1
Penetapan Sofyan Basir sebagai tersangka ini merupakan hasil pengembangan kasus dugaan suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau tahun 2018 lalu.
Dalam kasus ini, KPK sudah menjerat mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Sekjen Golkar Idrus Marham, dan Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited. Pada pengembangan sebelumnya, KPK juga sudah menetapkan pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan, sebagai tersangka.
Baca: Dalam Kasus PLTU Riau-1, KPK Duga Dirut PLN Terima Janji dengan Bagian yang Sama Besar
Baca: Soal Status TSK Dirut PLN, KPK Akui Telah Kirim Surat Hari Ini
"Pada Oktober 2015, Direktur PT Samantaka Batubara mengirimkan surat pada PT PLN yang pada pokoknya memohon agar memasukan proyek dimaksud ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN namun tidak ada tanggapan positif," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Selasa (23/4/2019).
Sebagian besar saham dari PT Samantaka Batubara dimiliki oleh Blackgold Natural Resources Limited.
Salah satu pihak yang sudah terjerat, Johannes Budisutrisno Kotjo merupakan pemegang saham di Blackgold.
Baca: Jokowi: Urus Perizinan Investasi Masih Ruwet!
Baca: Wiranto Apresiasi Sikap Negarawan Jokowi dan Prabowo
"Hingga akhirnya Johannes Kotjo, mencari bantuan agar diberikan jalan untuk berkoordinasi dengan PT PLN (Persero) untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1," kata Saut.
KPK menduga telah terjadi sejumlah pertemuan yang dihadiri Sofyan, Eni dan atau Kotjo untuk membahas proyek tersebut.
Sekitar tahun 2016, meskipun saat itu Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN belum terbit, Sofyan diduga telah menunjuk Kotjo mengerjakan proyek di Riau.
"Karena untuk PLTU di Jawa sudah penuh dan sudah ada kandidat.
Johannes Kotjo meminta anak buahnya untuk siap-siap karena sudah dipastikan Riau-1 milik PT Samantaka," ujarnya.
Sampai Juni 2018, diduga telah terjadi pertemuan antara Sofyan, Eni, dan atau Kotjo serta pihak lainnya di sejumlah tempat, seperti hotel, restoran, kantor PLN dan rumah Sofyan.
Saut menjelaskan, dalam pertemuan itu membahas sejumlah hal terkait proyek tersebut.
Beberapa di antaranya, Sofyan menunjuk perusahaan Kotjo untuk mengerjakan proyek, lalu menginstruksikan salah satu direktur di PT PLN untuk berhubungan dengan Eni dan Kotjo.
Kemudian Sofyan juga diduga menginstruksikan seorang direktur PT PLN untuk menangani keluhan Kotjo.
Kotjo mengeluh karena lamanya penentuan proyek PLTU Riau-1 tersebut.
Sofyan juga membahas bentuk dan lama kontrak dengan perusahaan-perusahaan konsorsium.
"SFB diduga menerima janji dengan mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham," katanya.
Sofyan disangka melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 hurut b atau pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.