News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemilu 2019

Setelah Tahu Pemilu 2019 Sebabkan Ratusan Orang Meninggal, Ini Reaksi Pengaju Pemilu Serentak

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyalami anggota keluarga petugas yang wafat dalam tugas penyelenggaraan Pemilu 2019 hadir pada acara silaturahmi di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (23/4/2019). Pada acara tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan penghargaan dan santunan kepada 49 pejuang demokrasi yakni petugas KPPS, anggota Polri, dan Linmas yang meninggal dalam tugas penyelenggaraan Pemilu 2019 di wilayah Jawa Barat. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setidaknya sebanyak 167 orang meninggal dunia saat melaksanakan tugas sebagai penyelenggara Pemilu Legislatif (Pileg) yang diselenggarakan serentak dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Mereka adalah 119 petugas KPPS yang meninggal dunia. Selain petugas KPPS, pelaksanaan rangkaian proses Pemilu Serentak 2019 juga menelan korban dari institusi lain.

Dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebanyak 33 orang dan dari kepolisian yang mengawal logistik dan mengamankan TPS sebanyak 15 anggota.

Belum lagi saksi dari calon di Pemilu yang juga dikabarkan banyak yang jadi korban.

Selain itu, Masih terdapat 459 orang petugas yang jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit yang tersebar di hampir seluruh provinsi.

Baca: Berhonor Rp 500 Ribu Sudah Ada 90 Yang Meninggal, Begini Beratnya Jadi Petugas KPPS

Baca: Jokowi di Ambang Rekor, Jika Menang Lagi Maka Jadi Jawara 5 Kali Pemilu

Banyaknya korban petugas pemilu serentak, mengundang penyesalan mendalam bagi Effendi Gazali.

Effendi Gazali merupakan Pengaju Judicial Review Pemilu Serentak ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 lalu.

Di banyak kesempatan, selaku pengaju Judicial Review untuk Pemilu Serentak, Effendi Gazali sudah menyatakan menyesal mengajukan Judicial Review jika hasil UU Pemilunya seperti UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Sejak dua tahun lalu kami juga terang-terangan mengimbau agar pemilu kita dikembalikan saja seperti tahun 2014, daripada Pemilu Serentak 2019 dipaksakan dengan memberlakukan Presidential Threshold!" ujar Effendi Gazali kepada Tribunnews.com, Selasa (23/4/2019).

Karena itu Effendi Gazali turut berdukacita atas meninggalnya para petugas KPPS, Panwas, polisi dan berbagai pihak terkait Pemilu Serentak 17 April 2019.

"Tidak ada orang yang meragukan bahwa kita ikut berduka cita sedalam-dalamnya," ucap Effendi Gazali.

Sambil terus mendoakan para “pahlawan” pemilu serentak yang telah berpulang dalam melaksanakan tugasnya, dia mengajak semua pihak untuk memperbaiki sistem pemilu kita dengan jernih.

Janganlah pengorbanan para "pahlawan" pemilu serentak itu sia-sia hanya karena bangsa ini terus dipaksa dengan pilihan hanya dua pasangan, atau bahkan calon tunggal, yang bisa dipastikan lebih tajam konfliknya dengan ujaran kebencian di era media sosial ini.

"Akibatnya tidak banyak waktu kita sebagai bangsa tersisa untuk melaksanakan manajemen pemilihan umum yang lebih tenang, tertib, dan memikirkan sungguh-sungguh kesejahteraan pemilih dan pelaksana pemilu," kata Effendi Gazali.

Baca: Masalah Sepele Ini Jadi Sebab Tersangka Memotong Leher Budi Hartanto Usai Membunuhnya

Baca: Ini Omongan Audrey yang Bikin Pelaku Sakit Hati? Bukan Masalah Cowok, Seret Almarhum Ayah

Ia pun menjelaskan, selama JR ke Mahkamah Konstitusi (MK), dirinya dan para ahli sudah antara lain mengusulkan Pemilu Serentak terbagi dua. Satu, Pemilu Serentak Nasional, memilih presiden, DPR, dan DPD.

Dan kedua, Pemilu Daerah serentak memilih Kepala Daerah, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten/kota.

"Hal itu telah berkali-kali kami diskusikan dan sampaikan ke media bersama berbagai unsur Civil Society. Bahkan juga kami sampaikan kemudian saat peluncuran buku Mendagri Tjahjo Kumolo tentang “Dasar Hukum Pilkada Serentak” di Kemendagri, 1 Desember 2015," ungkapnya.

Namun, ternyata Pembentuk Undang-Undang tidak kunjung membuat kodifikasi tersebut. Berbagai masukan yang ia sampaikan lewat media maupun datang langsung ke DPR seperti terbuang percuma. Misalnya, soal definisi dan masa “kampanye”.

Hal lain yang menghabiskan banyak waktu, bahkan sampai diwarnai walk-out berbondong-bondong pada malam paripurna pengesahan UU Pemilu, adalah soal Presidential Threshold (ambang batas persyaratan mengajukan calon presiden). Apakah 0 persen, 10 persen, atau 20 persen? Akhirnya setelah diwarnai voting, UU Pemilu disahkan 21 Juli 2017, dini hari.

"Ambang batas pencalonan presiden ditetapkan 20 persen dan diambil dari pemilu legislatif 5 tahun sebelumnya. Inilah satu-satunya pemilu serentak di dunia yang memakai Presidential Threshold yang diambil dari pemilu legislatif sebelumnya!" tegasnya.

Baca: Prakiraan Cuaca DKI Jakarta Hari Ini Rabu 23 April 2019, Waspada Hujan Petir di Jaktim dan Jaksel

Pengamat komunikasi politik, Effendi Gazali. (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Jelas dalam aturan Presidential Threshold ini sangat kentara keinginan memperoleh atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak apik. Yang dibatasi adalah kompetitor tidak boleh masuk dalam kompetisi.

Dengan adanya presidential threshold, paling banyak satu pasangan kompetitor yang dapat masuk, dan itupun kalau bisa kompetitor yang paling lemah.

"Tapi mereka lupa bahwa jika hanya dua pasangan capres maka konfliknya bisa menuju 100 persen," jelasnya.

Apa akibat selanjutnya? Nasib yang tak dapat ditolak menurut dia, Pemilu Serentak 2019 datang di tengah kejamnya media sosial.

Maka sebagian besar energi bangsa habis untuk menganalisis, menengahi, atau mengajukan tuntutan di seputar hoaks.

Waktu KPU, Bawaslu, dan banyak aparat negara, serta para politisi, imbuh dia, habis digunakan untuk memberantas hoaks.

"Mulai dari 7 kontainer surat suara sudah tercoblos, server KPU yang sudah disetting sedemikian rupa di luar negeri, serta aneka ujaran kebencian dan pencemaran! Sangat sedikit kita dengar waktu, tenaga, energi yang digunakan untuk sosialisasi dan simulasi apa yang akan terjadi pada Pemilu Serentak," paparnya.

Baca: Khawatir Di-Hack, Input Data C1 Tim Prabowo-Sandi di Kedai Kopi dan Rumah Relawan

Lima tahun dan dua bulan lebih, kata dia, bukan waktu yang pendek untuk menyosialisasikan bahkan mengadakan beberapa kali simulasi, sehingga akan tahu persis bagaimana akibatnya bagi publik yang memilih, KPPS, Panwas, polisi, dan pihak-pihak terkait pada hari saat Pemilu Serentak benar-benar dilaksanakan.

"Jika kita tiba-tiba terkejut dengan apa yang terjadi, maka itu berarti sosialisasi dan simulasi kita telah gagal atau tidak memberikan gambaran yang sebenarnya," jelasnya.

Jadi, kalau berpikir secara jernih, dia menilai, harusnya hal-hal ini yang harus diperbaiki di masa depan. Jelaslah lebih baik dilaksanakan Pemilu Nasional Serentak, yakni Presiden, DPR, DPD terpisah dengan Pemilu Daerah Serentak (Kepala Daerah. DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2).

"Misal, dengan jarak 2,5 tahun atau di tengah-tengah antara dua jenis pemilu serentak ini," dia mencontohkan.

Evaluasi

Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan pihaknya bakal mengevaluasi sistem pemilu serentak 2019.

Hal ini dilakukan setelah banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia saat menjalankan tugasnya.

Para petugas mengalami kelelahan akibat proses penghitungan dan distribusi suara yang cukup lama.

"Ya nanti kita evaluasi," ujar Arief Budiman di Kantor KPU.

Arief Budiman mengakui tugas yang dijalankan oleh petugas KPPS sangat berat.

Beban kerja yang berat, menurut Arief Budiman membuat banyak petugas KPPS kelelahan.

"Memang pekerjaannya berat, memang pekerjaannya banyak, maka ya orang sangat mungkin kelelahan dalam menjalankan tugas," tutur Arief Budiman.

Namun Arief Budiman mengakui sangat dilematis jika jam kerja disesuaikan seperti jam kerja normal.

Pasalnya, penyelenggaraan pemilu membutuhkan waktu kerja di luar jam kerja.

"Kalau dibikin kerjanya seperti kerja normal kantoran masuk jam 08.00 pagi pulang jam 04.00 sore, bisa nggak selesai pemilunya. Memang kerja penyelenggara Pemilu itu kerjanya overtime," jelas Arief Budiman.

"Makanya ketika kami memilih itu, memang nyari orang-orang yang sehat fisiknya, sehat mentalnya. Karena sehat fisiknya saja juga berisiko kalau orang ditekan kanan kiri gampang down, nggak bisa," pungkas Arief Budiman.

Seperti diketahui, sebanyak 12 petugas KPPS di Jawa Barat gugur saat menjalankan tugasnya.

Penyebab meninggalnya para petugas ini pun sebagian besar karena kelelahan.

Namun ada juga yang mengalami kecelakaan lalu lintas.

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyarankan, penyelenggaraan pemilu serentak harus dievaluasi, terkait banyaknya korban meninggal dunia yang kelelahan saat bertugas menjadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Ia mengatakan, sejak awal telah ada kekhawatirkan terkait beban kerja yang sangat berat dari seorang petugas KPPS, mengingat pemilu 2019 merupakan pemilu yang paling rumit.

“Itu lah yang kita khawatirkan sejak awal. Bahwa ini pemilu yang terumit, ternyata ada korbannya baik di kalangan KPPS juga di Kepolisian ada korban,” kata wapres JK di rumah dinasnya, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, usai menerima tokoh dan pimpinan ormas Islam, Senin (22/4/2019) malam.

JK pun meminta agar pilpres dan pileg penyelenggaraanya dipisah, di mana pemilihan calon anggota legislatif digelar tertutup oleh parpol.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini