TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Ahli bahasa yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang tersangka kasus dugaan penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran Ratna Sarumpaet, Dr Wahyu Wibowo, dicecar pertanyaan terkait makna dari frasa "penyiaran berita bohong" dan "keonaran" oleh Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim, dan Pengacara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/4/2019).
Di awal tanya jawabnya dengan Hakim Ketua Joni, Wahyu menjelaskan bahwa bidang ilmu yang dikuasainya adalah filsafat bahasa.
Ia menjelaskan, secara hakikat filsafat bahasa berbeda dengan linguistik atau ilmu bahasa dari segi subjek keilmuan.
Wahyu menjelaskan, filsafat bahasa lebih cenderung memeriksa makna bahasa sedangkan linguistik lebih cenderung memeriksa bentuk bahasa.
"Dalam pengertian keilmuan dibedakan dengan linguistik. Filsafat bahasa lebih mengarah kepada makna bahasa sehubungan dengan kehidupan. Linguistik berkaitan dengan bentuk-bentuk bahasa. (Filsafat bahasa) terkait penggunaan bahasa pada masayarakat, pada konteksnya," kata Wahyu di Pengailan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/4/2019).
Baca: Soal Ahli Digital Forensik yang Dihadirkan JPU, Ratna Sarumpaet: Kalau Dari Jaksa Memberatkan Dong
Wahyu menjelaskan, sejumlah hal yang perlu disoroti untuk mencari makna dalam perspektif filsafat bahasa antara lain, penutur, tuturan (bentuk), penerima tuturan (audien), reaksi dari penerima tuturan (kesan), dan situasi saat proses komunikasi itu terjadi (konteks).
Wahyu juga mengatakan profil penutur dan konteks akan menentukan kesan atau reaksi.
Terkait hal tersebut, menurut Wahyu bahasa juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi penerima tuturan terlebih jika penutur adalah seorang tokoh publik.
Terkait frasa "penyiaran berita bohong", Wahyu berpendapat penyiaran informasi yang mengandung sesuatu yang tidak benar bisa dilakukan oleh satu orang ke satu orang lain.
Terkait dengan kata "keonaran", Wahyu berpendapat keonaran tidak berarti harus mengakibatkan keributan fisik.
Menurutnya, dalam filsafat bahasa onar bermakna membuat orang bertanya-tanya, gaduh, heran, atau menimbulkan pro kontra.
Ia mengatakan, pada awalnya dua orang saja sudah cukup untuk dikatakan terlibat dalam keonaran meski dalam perkembangannya membutuhkan lebih banyak orang.
"Dalam konteks ini tidak berarti harus ada keributan fisik. Onar bisa saja membuat bertanya-tanya, gaduh, heran, dalam konteks filsafat bahasa seperti itu. Dalam konteks filsafat bahasa itu (pro kontra adalah) onar. Awalnya dua (orang) saja cukup tapi dalam perkembangannya harus melibatkan banyak orang," kata Wahyu.
Wahyu menolak ketika ditanya pengacara Ratna makna dua kata tersebut dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 pasal 14.
Menurutnya, sebagai ahli bahasa ia tidak berkapasitas menafsirkan makna Undang-Undang mengingat bahasa dalam Undang-Undang memiliki norma yang mengikat sendiri.
"Saya tidak bisa memberikan pendapat saya soal Undang-Undang. Itu ada normanya sendiri," kata Wahyu.
Joni pun setuju dengan Wahyu dan meminta pengacara mengganti pertanyaannya.
JPU juga sempat mencecar Wahyu dengan pertanyaan terkait fakta konferensi pers pengakuan Ratna pada sehingga Joni harus berulang kali menegur JPU untuk tidak mengaitkannya langsung ke fakta kasus.
"Coba kasih pertanyaan yang lebih bebas. Soal fakta biar kami (majelis hakim) yang menilainya. Ahli ini dihadirkan untuk diminta pendapatnya," kata Joni kepada JPU.
Di akhir tanya jawab dengan ahli dengan para JPU, Hakim, dan pengacara terdakwa, Ratna tidak memberikan tanggapan apa pun terkait pendapat ahli.
Diketahui sebelumnya Ratna didakwa melanggar Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dan Pasal 28 Ayat (2) Jo Pasal 45 A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Berikut kutipan lengkap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 Pasal 14 ayat 1.
"Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun."