TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-Badan Intelijen Negara (BIN) mewaspadai beragam pergerakan jelang pengumuman hasil penghitungan suara pada 22 Mei 2019 di Komisi Pemilihan Umum (KPU). BIN mendeteksi adanya gerakan untuk mengepung KPU. Bahkan dibangun pula isu-isu kecurangan di masyarakat.
"Saat ini terus dibangun isu soal kecurangan dan ajakan kepung KPU di tanggal 22 Mei 2019. BIN terus mendeteksi dan mencegah potensi ancaman tersebut," ucap Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letnan Jenderal Purnawirawan Teddy Lhaksamana saat rapat kerja evaluasi Pemilu bersama Komite I DPD RI di Nusantara V DPR, Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Sebagai upaya pencegahan, Teddy mengaku sudah mulai menggalang tokoh agama, tokoh masyarakat hingga elit politik agar mempercayakan proses penghitungan pada KPU.
Teddy juga menyampaikan pihaknya bersama dengan seluruh aparat keamanan baik TNI maupun Polri berkomitmen tetap menjaga keamanan bangsa dan negara.
Baca: Persiapan MK untuk Tangani Sengketa Perselisihan Hasil Pemilu
"BIN bertanggung jawab mengantisipasi ancaman baik dari luar dan dalam negeri yang mengancam keutuhan bangsa. Seluruh aparat keamanan komitmen jaga keamanan agar tetap kondusif," tegasnya.
Teddy Lhaksamana juga mengaku sudah melakukan pemetaan konflik masalah ancaman di berbagai tanah air. Bahkan BIN juga mewaspadai adanya ancaman serius dari kelompok radikal yang memanfaatkan momentum Pemilu 2019.
"Potensi ancaman teror dari kelompok radikal yang ingin memanfaatkan momentum Pemilu terus diwaspadai,"kata Teddy.
Teddy juga berharap semua pihak dapat mematuhi aturan dan proses Pemilu dengan baik. Jika ada yang tidak puas dengan hasil pemilu dapat disampaikan melalui jalur hukum yang sudah ada.
Seperti diketahui awal Mei 2019, Densus 88 Mabes Polri menangkap 8 terduga teroris di Bitung, Bekasi, hingga Tegal. Kelompok terduga teroris yang ditangkap ini hendak memanfaatkan momentum unjuk rasa di Jakarta untuk melakukan aksi teror yakni bom bunuh diri.
Tidak hanya itu, kelompok ini juga berniat melakukan penyerangan terhadap Pos Polisi di Jatiasih, Kota Bekasi. Bahkan mereka sudah menggambar dan membagi peran.
Sementara itu, Polri sudah memprediksi bakal ada aksi unjuk rasa saat pengumuman hasil suara Pemilu 2019 di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei 2019 nanti.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan jika ada pihak yang melakukan unjuk rasa dan mengklaim ada kecurangan, meski dilindungi undang-undang namun tidak absolut.
"Di Undang-Undang diterjemahkan ke Pasal 6, tidak boleh menganggu HAM, kepentingan publik, dan harus mengindahkan etika, moral, persatuan dan kesatuan bangsa. Kalau melanggar Pasal 6 dapat dibubarkan," tutur Tito.
Jika ada ajakan people power atau mobilisasi umum untuk melakukan penyampaian pendapat, Tito menegaskan, hal itu harus ada mekanismenya.
Baca: Prabowo Subianto Akan Sambangi DPP PKS Hari Ini, HNW: Sekedar Silaturahmi
Berbahaya, jika tidak menggunakan mekanisme terlebih ada bahasa akan menjatuhkan pemerintahan. Jenderal bintang empat itu mengatakan ada ancaman pidana yang bakal diterapkan.
"Pasal 107 KUHP jelas. Perbuatan untuk menggulingkan pemerintah yang sah maka ada ancaman pidananya. Unsur penegak hukum dibantu TNI akan melakukan penegakkan," tegas Tito.
Terakhir Tito juga menyinggung kasus yang menjerat Ratna Sarumpaet dimana menyebar berita bohong yang menyebabkan keonaran bisa pula bernasib sama, diganjar pidana.
Baca: 5 Kebiasaan Wanita di Maroko untuk Menyambut Bulan Ramadan
"Kalau ternyata memprovokasi dilakukan makar atau menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran. Misalnya bilang kecurangan tapi buktinya tidak jelas lalu terjadi keonaran. Yang melakukan itu bisa dijerat," ujar Tito.
"Ini seperti kasus yang sedang berlangsung mohon maaf tanpa mengurangi asas praduga tidak bersalah, kasus Ratna Sarumpaet. Itu melakukan menyebar berita bohong yang menyebabkan keonaran," tambah Tito.
Baca: Perjalanan Kasus Pencucian Uang Mantan Ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir Hingga Jadi Tersangka