Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mendampingi salah satu keluarga Wakil KPPS bernama Umar Madi yang meninggal dunia pasca-Pemilu 2019.
Datang sekira pukul 15.30 WIB, Fadli Zon bersama anak dari almarhum Umar, Evi, mengunjungi RS Pelni guna meminta penjelasan dari pihak rumah sakit.
Baca: Tidak Hanya Materi, Perludem Minta Petugas KPPS Dibekali Simulasi di Pemilu 2024
"Bu Evi mencuitkan ini di twitter, menjelaskan kronologi kematian mendiang ayahandanya. Ini sebagai bentuk keprihatinan atas pelayanan ketika itu mendiang sakit pada tanggal 24 April 2019 datang ke sini dan dianggap oleh Ibu Evi pelayanannya cukup lambat," kata Fadli Zon di lokasi, Sabtu (11/5/2019).
Bahkan, dikatakan Fadli Zon, ketika mendiang Umar Madi dalam kondisi kritis, pihak rumah sakit tidak melayani sebagaimana mestinya.
"Ibu Evi melihat penanganan itu sangat mengecewakan dan tadi disampaikan langsung juga ini termasuk bagian dadi evaluasi RS, bagaimana ada karyawan pegawai atau respons dari rs yang cukup lambat dalam menanggulangi hal-hal kritis," lanjut politikus Gerindra tersebut.
Pihak RS Pelni dan keluarga mendiang Umar juga sudah melakukan pertemuan tertutuo untuk bisa secara pasti mengetahui apa yang menjadi sebab musabab meninggalnya Umar.
"Namun belum ada penjelasan resmi dan akan ditindaklanjuti dalam pertemuan berikutnya tentang sebab kematian dari bapak Umar Madi, meskipun dugaannya sudah jelas," ujarnya.
Sementara itu, anak mendiang Umar Madi, Evi berharap pelayanan rumah sakit Pelni dapat segera diperbaiki dan tidak lagi ada pasien yang telantar, apalagi jika ini menyangkut para petugas KPPS yang tengah melakukan kerja untuk negara.
"Nanti kami bertemu lagi, tapi intinya saya harap ayah saya jadi korban yang terakhir, dan pihak rumah sakit bisa melayani pasien dan tidak menelantarkan para pasien," kata Evi.
Adapun Umar Madi merupakan Wakil KPPS dari TPS 68, Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Seperti diketahui, jumlah petugas penyelenggara Pemilu, dalam hal ini Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang tertimpa musibah sudah mencapai 4.766 jiwa.
Data tersebut dihimpun per 7 Mei 2019, pukul 08.00 WIB, dengan rincian 456 petugas KPPS meninggal dunia, dan 4.310 lainnya jatuh sakit.
Baca: Tidak Hanya Materi, Perludem Minta Petugas KPPS Dibekali Simulasi di Pemilu 2024
"Menyampaikan, update data per 7 Mei 2019 pukul 08.00 WIB. (Petugas KPPS) Wafat 456, Sakit 4.310. Total, 4.766," kata Komisioner KPU RI Viryan Azis saat dikonfirmasi, Rabu (8/5/2019).
Sebagian besar, mereka meninggal dunia karena faktor kelelahan fisik, ditambah kurangnya waktu istirahat.
Wafatnya Ratusan Petugas KPPS Tak Sebanding dengan Uang
Elza Syarief sebagai pengacara dari komunitas kesehatan peduli bangsa, mengatakan bahwa nyawa Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tak sebanding dengan uang.
"Bukan semudah itu nyawa manusia. Karena nyawa manusia itu yang tertinggi," kata Elza Syarief, di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Kamis (9/5/2019).
Baca: Soroti Kasus Kivlan Zen Terkait Tudingan Makar, Fadli Zon: Terlihat Jelas Ada Kepanikan
"Kalian coba misalnya ada saudara yang meninggal, dikasih Rp 36 juta sudah oke? Enggak kan? Karena bisa berhari-hari, bisa berbulan-bulan ingat masa hidupnya," lanjut Elza Syarief.
"Kan enggak begitu nyawa manusia. Bukan begitu perlakuannya. Mereka harusnya lebih peduli dengan perkara ini," sambungnya.
Elza, sapaannya, berharap agar pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa mencari solusi dari perkara tersebut.
"Saya bilang kalau untuk kemanusiaan ya harusnya persiapan ini bisa tidak mereka (KPU) persiapkan untuk dengan baik dan tidak ada korban lagi," tanya Elza.
"Kalau tidak bisa ya KPU harus mengorbankan tanggal 22 itu. Iya, harus diperpanjang lagi," lanjut Elza yang mengenakan kacamata.
Menyoal rekapitulasi suara di kawasan Jakarta Pusat, dia pun berharap agar pahlawan demokrasi tersebut tak ada lagi yang tumbang.
Maka itu, Elza mengimbau KPU agar tak berfokus dengan target semata.
Namun harus berfokus juga dengan kesehatan para KPPS di wilayah Jakarta.
"Ya KPU jangan hanya mau mengejar target tanggal dua-dua (22) sukses. Itu kan jadi merasa pekerjaan ini ya berarti dia kan tidak peduli. Nanti yang meninggal dikasih santunan lagi? Jangan sampai dan jangan begitu," tegasnya.
"Itu enggak bisa saya terima soal itu. Karena ini soal nyawa manusia," sambungnya.
Dia menegaskan, jangan sampai mengorbankan nyawa manusia yang tak bayarannya tak seberapa.
"Jangan mengorbankan nyawa manusia. Sudah, itu saja yang saya pikirkan," tegasnya.
Artinya, lanjut Elza, sistem penghitungan yang terkesan memaksakan ini harus diperbaiki.
"Bukan dihentikan. Ya dihentikan sementara untuk perbaiki manajemen ini," ujae Elza sambil berdiri.
"Habis itu lanjut lagi tidak apa-apa. Kan itu semuanya tercatat. Bukan oral. Semuanya ada C1, ada catatan-catatan, ada di IT. Kan enggak mungkin hilang kan. Tapi kalau manusia, bisahilangkan nyawanya," jelas Elza.
Dia pun berkeinginan untuk melakukan investigasi dengan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait.
"Pertama, kita ingin melakukan investigasi dengan tim pencari fakta. Apa sebabnya, kita melakukan otopsi, forensik, dengan kerja sama pihak kepolisian," ujarnya.
"Kan kita bisa lihat beban pekerjaannya KPPS yang besar. Yang katanya kelelahan saja itu bisa membuktikan pelanggaran hukum. Karena beban kita sehari kan normalnya 8 jam kerja," pungkasnya.
Jumlah petugas penyelenggara Pemilu 2019 yang meninggal dunia terus bertambah. Data sementara secara keseluruhan petugas yang tewas mencapai 554 orang, baik dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri.
Baca: KPU Bantah Ada Petugas KPPS Meninggal Karena Racun
Berdasarkan data KPU per Sabtu (4/5) pukul 16.00 WIB, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal sebanyak 440 orang. Sementara petugas yang sakit 3.788 orang.
Jumlah itu bertambah dari hari sebelumnya yaitu 424 orang. Begitu pula dengan petugas yang sakit juga bertambah dari hari sebelumnya yang mencapai 3.668 orang.