TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penasihat hukum Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Arief Sulaiman, meminta majelis hakim agar memutus secara adil kasus suap dana hibah Kemenpora kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Menurut dia, pihak Kemenpora atau dalam hal ini Miftahul Ulum, selaku asisten pribadi Menpora, Imam Nahrawi, merupakan orang yang aktif meminta sejumlah biaya untuk mempercepat pemberian dana hibah tersebut.
Dia menuding Ulum telah berbohong dan tidak mengakui menerima suap dana hibah KONI. Hal ini terungkap pada saat Ulum dihadirkan sebagai saksi di persidangan sebelumnya.
"Ulum berbohong. Klien (Ending,-red) menanggapi dan membantah setiap Ulum tidak mengaku menerima uang. (Keterangan Ending,-red) dikuatkan saksi lainnya," kata Arief Sulaiman saat dihubungi, Senin (20/5/2019).
Baca: Senin ini, Sekjen dan Bendahara KONI Jalani Sidang Pembacaan Putusan
Di kesempatan itu, dia mengharapkan agar pihak KPK dapat mengungkap secara terang benderang kasus tersebut.
"Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab karena permintaan uang diinisiasi pihak Kemenpora," ujarnya.
Atas dasar permintaan uang diinisiasi pihak Kemenpora, dia meyakini, klien tidak bersalah. Arief mengharapkan ada keadilan yang diperoleh kliennya karena sudah terbuka pada persidangan.
"Pasti ya kami berharap ada keringanan.
Harapan ada keadilan. (Ending,-red) sudah terbuka di persidangan dan jujur," tambahnya.
Pada Senin (20/5/2019) ini, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjadwalkan sidang beragenda pembacaan putusan kasus suap dana hibah Kemenpora kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Dua orang pejabat KONI, yaitu Ending Fuad Hamidy, Sekjen KONI, dan Johny E. Awuy, Bendahara KONI, akan menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin (20/5/2019).
Untuk diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menuntut Sekjen KONI, Ending Fuad Hamidy empat tahun penjara, denda Rp 120 juta subsidair tiga bulan.
Sedangkan, Bendahara KONI, Jhonny E Awuy dituntut dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.
Ending dan Johny diseret ke pengadilan karena diduga menyuap Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Mulyana, pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Kemenpora Adhi Purnomo dan staf Kemenpora Eko Triyanto.
Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2018. Dari OTT itu, KPK menetapkan 5 orang tersangka yaitu Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy sebagai tersangka pemberi. Kemudian tersangka penerima suap ialah Deputi IV Kemenpora Mulyana, PPK pada Kemenpora Adhi Purnomo dkk, serta staf Kemenpora Eko Triyanto.
Berdasarkan surat dakwaan, Jhonny memberikan 1 unit Toyota Fortuner hitam dan uang Rp 300 juta kepada Mulyana. Selain itu, Mulyana diberikan kartu ATM debit BNI dengan saldo Rp 100 juta. Selain itu, Jhonny memberikan ponsel merek Samsung Galaxy Note 9 kepada Mulyana.
Jaksa menduga pemberian hadiah berupa uang dan barang itu bertujuan supaya Mulyana membantu mempercepat proses persetujuan dan pencairan dana hibah Kemenpora RI yang akan diberikan kepada KONI.
Perbuatan dua terdakwa tersebut diyakini melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.